Sponsored Ads

Perbaikan Nilai Akhir

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Buat mahasiswa yang mendapakan nilai D ke bawah, tugas perbaikan bisa di lihat di Download perbaikan nilai. Jazakumullah Khairan Katsiran.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Nilai Mahasiswa

Berikut Nilai Teori Bahasa & Teknik Kompilasi Mahasiswa UNAS PASIM,Bila ada yang mau klarifikasi silahkan menghubungi saya. Jazakumullah Khoiran Katsiran Download Nilai TBOK 2013

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Kembali Pada Fitrah, Kembali Pada Syariah dan Khilafah


Ketika manusia dilahirkan oleh ibunya, ia tidak terlumuri oleh dosa. Akan tetapi, ia lahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Nabi saw., “Kullu mawlud[in] yuladu ‘ala al-fithrah” (Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah).
Orang yang menunaikan shaum dengan benar selama bulan ramadhan akan terlahir kembali layaknya bayi yang tidak berdosa, kembali suci. Hal ini dikarenakan Allah Swt. mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu; ia keluar dari dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.


Allah Swt. berfirman:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS. Ar-Rum:30).


Menurut Ibn Atsir, fitrah itu antara lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi manusia yang siap untuk menerima Agama. Oleh karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar dan tanpa beban. Seandainya setan jin dan setan manusia ditiadakan, niscaya manusia hanya akan memilih kebenaran itu (Al-Faiq, III/128).

Kembali pada fitrah tidak lain adalah dengan menjalankan perintah Allah, yakni dengan menetapi karakteristik penciptaan manusia dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap setiap saat untuk menerima kebenaran.

Puasa ramadhan dan rangkaian aktivitas di bulan ramadhan selayaknya dapat melatih kita untuk menyadari dan memahami fitrah kita, karna ramadhan telah menjadi riyadhah badaniyah sekaligus riyadhah bathiniyah yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan dan memahami fitrahnya sebagai makhluk diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Maka dengan begitu, ia akan lebih merasa membutuhkan penciptanya, membutuhkan petunjuk dari-Nya.

Fitrah manusia diantaranya adalah fitrahuntuk beragama/mengagungkan sesuatu yang dianggap memiliki kelebihan darinya (Ghorizah Tadayyun). Fitrah ini mengharuskan manusia hanya menerima Agama, Ideologi, dan Sistem hidup yang sesuai dengan dengannya dan menolak serta membuang Agama, Ideologi dan Sistem hidup yang tidak sesuai dan bertentangan dengan fitrah. Dengan fitrahnya ini, manusia akan terdorong untuk mencari Agama, Ideologi dan Sistem hidup yang sesuai dengan fitrahnya.

Selain itu, manusia juga dianugerahi fitrah untuk melestarikan jenis (Ghorizah Nau’) dan fitrah untuk mempertahankan diri (Ghorizah Baqa’), kebutuhan jasmani (Hajatul Udhawiyah) dan akal. Kesemua fitrah itu menuntut sebuah pemenuhan dan dalam pemenuhannya pasti mengharuskan adanya aturan. Aturan ini tidak mungkin lahir dari manusia itu sendiri sebagaimana yang terjadi saat ini, disaat pongahnya manusia membuat hukum/aturan sendiri. Aturan itu selayaknya lahir dari Pencipta manusia, yang tau segala sesuatu hal tentang manusia.

Faktanya, di dunia ini hanya Islamlah Agama sekaligus Ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah Agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw., melalui malaikat Jibril. Islam lahir sebagai Agama dengan sepaket aturan yang membahas aspek spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam hal aqidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam hal pakaian, makanan dan akhlak, juga mengatur hubungan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam hal muamalah dan uqubat (sanksi).

Agama-agama selain Islam yang notabene hanya mengatur aspek spiritual saja jelas tidak sesuai dengan fitrah manusia, fitrah tidak bisa menerima agama yang bersifat demikian.

Di sisi lain, ideologi selain Islam, yakni Sosialisme dan Kapitalisme juga tidak bisa diterima oleh fitrah.. sosialisme menafikan adanya al-Khaliq(Pencipta). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Sama halnya dengan Kapitalisme, meskipun mengakui adanya Tuhan sebagai sang pencipta, Kapitalisme menafikan peran Tuhan dalam masalah dunia. Inipun jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang keberadaannya serba lemah dan terbatas, kadang menganggap yang baik itu buruk dan yang buruk itu baik. Sehingga memerlukan aturan dari Tuhan untuk semua aspek kehidupan.

Allah Swt., berfirman:
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS al-Baqarah:216)

Hanya Islamlah, Agama sekaligus Ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah hanya bisa menerima aturan yang sesuai dengannya. Oleh karena itu, kembali pada fitrah mengharuskan kita hanya menerima Islam dan menolak semua Agama dan ideologi selain islam. Sebab, hanya Islam Agama yang sesuai dengan fitrah dan merupakan Agama yang benar.

Allah Swt., berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (TQS. Ali Imran:19).

Oleh karena itu, kembali pada fitrah nyatanya adalah kembali kepada Islam sebagai Agama sekaligus Ideologi yang melahirkan sebuah sistem kehidupan. Itu artinya, kita harus kembali kepada Aqidah islam yang lurus dan Syariah Islam yang merupakan pancaran dari Aqidah Islam itu sendiri. Penerapan Syariah atau Sistem Islam tidak dapat terwujud secara kaffah (menyeluruh) tanpa adanya institusi yang menerapkan dan melaksanakannya. Institusi itu tak lain adalah Khilafah Islam, bukan yang lain. Institusi yang harus kita perjuangkan agar kembali ditegakkan di bumi ini, hingga Islam dapat kembali menjadi Rahmatan lil Aalaamin.

Sabda Nabi Saw.:
“..Kemudian akan muncul kembali masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian..” (HR. Ahmad).

Firman Allah Swt.:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur:55).

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN WILAYAH ISLAM HARGA MATI


Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman
...Islam mewajiban kaum Muslim untuk bersatu sebagai satu umat. Allah SWT berfirman, "Inna hadzihi ummatukum ummat[an] wahidat[an] wa ana Rabbukum fa'buduni" (Sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku) (TQS al-Anbiya' [21]: 92). Dengan redaksi yang agak ber¬beda, khithab (seruan) yang sama juga dinyatakan oleh Allah dalam QS Al Mu'minun [23]: 52. Karena itu, meski mempunyai latar belakang etnis, bangsa dan bahasa yang berbeda, umat Islam adalah umat yang satu. Karena mereka mempunyai Tuhan yang sama (Allah); kitab suci yang sama (Alquran); Nabi yang sama (Muhammad); kiblat yang sama (Ka'bah); agama yang sama (Islam), bahkan negara yang sama (Khilafah).

Islam bukan hanya menetapkan umatnya sebagai satu umat dan mewajibkan mereka untuk bersatu di bawah naungan satu kepemimpinan, yaitu Khila¬fah, sebagaimana sabda Nabi, "Falzim, jama'ata al-muslimin wa imamahum." (Berpegang teguhlah pada jamaah kaum Muslim dan imam/khalifah mereka) (HR Ibn Majjah). Pada saat yang sama, Islam juga memerintahkan agar siapa saja yang memecah belah persatuan kaum Muslim harus dibunuh.

Ini ditegaskan oleh Nabi, "Man baya'a imam[an] fathahu shafqata yadihi wa tsamrata qalbihi falyuthi'hu in istathaa fain ja'a akhar yunazi'uhu fadhribu 'unuqa al-akhira" (Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/ khalifah, kemudian memberikan uluran tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia menaatinya sebatas kemampuannya. Jika ada orang lain merebutnya, maka bunuhlah yang terakhir) (HRMuslim).

Tidak hanya itu, Islam juga menetapkan bahwa mati untuk membela harta, termasuk wilayah kaum Muslim adalah mati syahid. Ini dinyatakan dalam hadits Nabi, "Man qutila duna malihi fahuwa syahid "(Siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia mati syahid) (HR Muslim, Ibn Hibban, Ahmad).

Dalam pandangan Islam, harta kekayaan pribadi, umum maupun negara, merupakan harta kaum Muslim. Termasuk wilayah negeri-negeri Islam, semuanya merupakan harta kaum Muslim. Karena itu, mempertahankan harta tersebut, termasuk keutuhannya agar tidak pecah, dan dicaplok pihak lain, hukumnya wajib. Mati karenanya pun dinyatakan oleh Islam sebagai mati syahid.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, bisa ditegaskan bahwa menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaurn Muslim hukumnya wajib. Karena itu, persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, dalam pandangan Islam, merupakan harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ini merupakan masalah ma'lum[un] min ad din bi ad dharurah (masalah agama yang penting). Karena itu, Sayyidina Umar pernah menyatakan, "La Islama illa bi al jamaah, wa la jama'at[an] illa bi al imarah, wa la imarata ilia bi at thaah." (Islam tidak akan tegak, kecuali dengan adanya jamaah, dan jamaah tidak akan ada, kecuali adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak akan ada, kecuali untuk ditaati) (Ibn 'Abdi Al Barr, Jami' Bayan al-‘Iim wa Fadhlati Ibn Abdi al-Barr). Artinya, jamaah sebagai representasi persatuan dan kesatuan itu mutlak dibutuhkan oleh Islam.

Selain Islam menetapkan kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, Islam juga mengharamkan perpecahan dan memisahkan diri dari jamaah, atau kesatuan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Islam juga memandang serius bentuk pelanggaran ini sehingga sanksinya pun tegas, yaitu dibunuh jika sendirian. Jika jumlah mereka yang melakukan pelanggaran tersebut banyak, maka sanksi bagi mereka adalah diperangi. Mereka disebut ahli alboghy (kaurn pembangkang) atau jamaknya, bughat (QS Al Hujurat [49]: 9). Meskipun mereka diperangi bukan untuk dihabisi tetapi untuk disadarkan dan diinsyafkan. Para fuqaha menyebut peperangan melawan mereka dengan istilah, qital ta'dib.

Dalam pandangan Islam, masalah separatisme atau upaya untuk memisahkan diri dari negeri-negeri kaum Muslim dianggap sebagai dosa besar jika dilakukan oleh kaum Muslim; dan tindakan krimininal yang serius, jika dilaku¬kan oleh orang-orang non-Muslim. Bahkan, bagi orang-orang non-Muslim yang melakukan tindakan tersebut, pertama-tama mereka bisa kehilangan dzimmah mereka sehingga bisa diusir dari negeri-negeri kaum Muslim sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap orang Yahudi Bani Qainuqa' yang diusir dari Madinah. Mereka juga wajib diperangi dan diusir, sebagaimana tindakan Nabi terhadap Yahudi Bani an-Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan kata lain, masalah sparatisme ini merupakan qadhiyah mashiriyyah, yang bisa diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati.

Meski demikian, Islam juga mengajarkan bahwa Selain masalah ini harus didudukkan sebagai qadhiyah mashiriyah, masalah ini tidak harus selalu didekati dengan pendekatan militer. Kalau pun harus ditempuh pendekatan militer, maka ini merupakan alternatif terakhir setelah upaya-upaya persuasi tidak berhasil.

Dengan kata lain, pendekatan yang pertama kali harus dilakukan adalah pendekatan politik. Dengan cara menjelaskan hukum larangan memisahkan diri atau melakukan aksi separatisme, khususnya kepada kaum Muslim, serta konsekuensi sanksi yang akan mereka hadapi jika tindakan tersebut mereka lakukan. Sedangkan kepada kaum non-Muslim, yang nota bene adalah ahli dzimmah, maka bisa dijelaskan konsekuensi yang akan mereka terima. Mulai dari hilangnya dzimmah, pengusiran hingga dip¬rangi.

Selain penjelasan tersebut, kepada mereka baik Muslim maupun non-Muslim—harus dibongkar rencana busuk di belakang gerakan separatisme, termasuk kepentingan kaum Kafir penjajah yang hendak menjajah mereka disertai dengan berbagai bukti dan sejarah. Kasus lepasnya wilayah Balkan dan Syam dari genggaman Khilafah Utsmaniyah, di masa lalu; lepasnya Timor Leste dari Indonesia; dan yang terbaru lepasnya Sudan Selatan dari Sudan adalah bukti-bukti nyata dimanfaatkannya jaringan kaum Kristen, khususnya misionaris, untuk menggalang aksi separatisme. Di balik semuanya itu, jelas ada kepentingan negara-negara Kafir penjajah untuk mengangkangi wilayah-wilayah tersebut.

Balkan dan Syam, setelah lepas dari Khilafah Ustmaniyah menjadi negara-negara kecil yang lemah. Demikian juga Timor Leste, setelah lepas dari Indonesia, juga menjadi negara kecil yang lemah. Hal yang sama juga dialami Sudan Selatan. Dengan kondisi seperti itu, maka sangat mudah bagi negara-negara kafir penjajah untuk menjajah negara-negara kecil tersebut dan mereka pun tidak mampu membebaskan diri dari penjajahan negara-negara kolonialis itu. Jika Papua, Ambon atau yang lain melakukan hal yang sama, maka nasib yang sama pun siap mengintai mereka.

Namun, ironisnya, belum apa-apa, Menhan, Purnomo Yusgiantoro, dengan tegas menyatakan agar tidak menggunakan pendekatan kepada kelompok OPM di Papua dengan pendekatan, "NKRI harga mati". Padahal, jargon "NKRI harga mati" selalu digunakan untuk menyerang perjuangan untuk menegakkan syariah. ini artinya, bahwa ada upaya sistematis untuk memfasilitasi gerakan separatisme dan membiarkannya berkembang. Maka, tidak lama setelah ini, Papua pun akan lepas dari pangkuan Indonesia. Para penguasa negeri Muslim ini pun harus siap-siap mempertanggungjawabkan kebijakan mereka di hadapan umat Islam, dan lebih dari itu, mereka telah mengkhianati Allah dan RasulNya.


________________________________________________________________

“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Jika ikhwan wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini, serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain.
sumber : http://www.facebook.com/SyariahKhilafah

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Indonesia Belum Merdeka...!!!


Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan. Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237 juta jiwa lebih ini (yang mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan terjajah!

Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, masyarakat menilai banyak aspek dan kondisi makin buruk saja pada saat ini. Misal, pada aspek keadilan hukum mereka menyatakan: 59,3% semakin buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik. Lalu pada aspek keadilan ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk, 15,1%: tetap, 21,1%: semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara, ternyata kesimpulannya: peran negara tidak memadai!

Lalu terkait kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang Indonesia belum merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum merdeka), politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%: menyatakan belum merdeka).

Pandangan dan penilaian masyarakat di atas rasanya cukup mewakili pandangan mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah yang merasakan langsung atau bahkan menjadi obyek penderita dari keterjajahan di berbagai bidang justru di era “kemerdekaan” saat ini. Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa?

Potret Nyata Keterjajahan

Dari data BPS yang dibacakan Presiden SBY (16/8), jumlah penduduk Indonesia 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Yang masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan ukuran pendapatan 2 dolar AS/hari.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009, mencapai 8,96 juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk pengangguran ‘tertutup’ ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan tarif dasar listrik baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah I juta orang karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota Jakarta saja, lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran.

Tak ketinggalan, APBN yang 70% sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai ratusan triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat relatif kecil.

Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para pemilik modal ketimbang rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang akhirnya di rampok juga) untuk Bank Century; sebaliknya begitu abai terhadap korban Lumpur Lapindo hingga hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus mengurangi subsidi untuk rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian, kesehatan, BBM dan listrik. Yang terbaru, saat banyak rakyat menjadi korban akibat “bom” tabung gas elpiji, Pemerintah justru berencana mencabut subsidi gas elpiji tabung 3 kg. Artinya, harga gas elpiji tabung 3 kg akan dinaikkan dengan alasan untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga dengan gas elpiji tabung 12 kg. Kesenjangan harga ini dituding sebagai faktor utama yang mendorong terjadinya banyak pengoplosan gas yang sering merusak katup tabung gas, dan pada akhirnya menimbulkan banyaknya kasus ledakan. Padahal jelas, kebijakan Pemerintah yang memaksa rakyat untuk mengkonversi penggunakan minyak tanah ke gas itulah yang menjadi akar masalahnya.

Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di atas, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika!

Akar Masalah

Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 66 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya. Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing. Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di negeri ini saat ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing.

Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.

Kemerdekaan Hakiki

Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Demokrasi Kapitalisme Sekular, ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum kolonial.

Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit” umum rakyat. Negara pun gagal membebaskan rakyatnya dari kebodohan. Rakyat juga masih belum aman. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat negeri ini. Bukan hanya tak aman dari sesama, rakyat pun tak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan dituduh sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas.

Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Demokrasi Kapitalisme-sekular dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.

Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah mabda yang sesuai dengan fitrah manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.
sumber : http://www.facebook.com/pages/250-Juta-Dukungan-Untuk-Ganti-Kapitalisme-SosialismeKomunisme-dgn-ISLAM/130268727340

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Jadwal Pendadaran Skripsi Periode Agustus

Bagi temen TI STMIK El Rahma yang membutuhkan jadwal pendadaran skripsi. Berikut ane lampirkan file jadwal pendadaran periode Agustus 2011, Semoga bermanfaat
.:Download:.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Perkara-perkara yang Membinasakan.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan." Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara itu?" Beliau berkata, "Menye¬kutukan Allah; sihir; membunuh jiwa yang telah Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama; memakan riba; memakan harta anak yatim; lari dari peperangan; menuduh wanita baik-baik berzina."(HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Kitab Fath Al Majid Syarh Kitab At Tawhid, dijelaskan bahwa disebut membinasakan karena bisa membinasakan pelakunya di dunia dengan cara dihukum dan di akhirat dengan diasab.

Pertama: menyekutukan Allah (syirik). Syirik termasuk dosa besar. Begitu besarnya, dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah SWT jika pelakunya tidak benar-¬benar bertobat. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa saja yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa besar” (TQS an-Nisa' 4:48).

Dalam hadits ini pun, dosa besar yang pertama kali disebutkan oleh Rasulullah adalah syirik, karena syirik adalah sikap durhaka kepada Allah yang paling besar. Dalam hal ini, Ibnu Masud ra. pernah bertanya kepada Baginda Rasulullah SAW, Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?" Rasul SAW menjawab, “Jika engkau menyekutu¬kan Allah, padahal Dia adalah yang menciptakan kamu." (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua: Sihir. Sihir adalah ucapan atau tindakan yang biasanya menggunakan jampi-jampi (mantra) atau ajimat yang ditujukan kepada seseorang dengan tujuan untuk menyakiti bahkan menghilangkan nyawa orang tersebut. Ada juga sihir yang dapat menyebabkan muncul ikatan yang sangat kuat (seperti pelet, gendam, pengasihan, dll) atau sebaliknya, yang menyebabkan berpalingnya seseorang dari orang yang lain. Abu Muhammad Al Maqdisi berkata dalam kitab Al-Kati, "Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi dan buhul-buhul yang dapat berpengaruh pada hati dan badan. Sihir itu dapat menjadi sebab menyakiti, menghilangkan nyawa dan memisahkan suami dengan istrinya."

Dalam hal ini Allah SWT berfirman (yang artinya): Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya (TQS Al Baqarah [2]:102).

Rasulullah SAW pernah terkena sihir. Aisyah ra. menuturkan bahwa Nabi SAW pernah terkena sihir sehingga sihir itu membuatnya seakan-akan melakukan sesuatu padahal beliau tidak rnelakukannya (HR Bukhari).

Sihir juga termasuk dosa besar. Di antara sihir tersebut ada yang sampai pada (tingkat) kekufuran jika pelakunya menyampaikan sihirnya melalui bantuan jin/setan. Karena itu, tukang sihir bisa dihukum mati, sebagaimana sabda Nabi saw., "Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal (hukuman mati) ."(HR Tirmidzi).

Dalam Shahih Bukhari juga disebutkan riwayat Bajalah bin Abdah yang bertutur, "Umar bin Khaththab telah menetapkan perintah yaitu: bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan."

Ketiga: Membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh. Ada empat golongan yang haram untuk dibunuh: Muslim; kafir dzimmi (non-Muslim warga Negara Khilafah); kafir mu'ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah); dan kafir musta'man (non-Muslim) yang menadapatkan suaka dari Negara Khilafah). Mereka haram dibunuh kecuali karena sebab/alasan yang syar'i.

Keempat: Memakan riba. Allah SWT tegas berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila (TQS Al Baqarah [2]: 275); Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278); Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangi kalian (TQS Al Baqarah [2]:279).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Allah men¬jelaskan apabila seseorang tidak meninggalkan riba maka berarti dia telah menyatakan siap diperangi Allah SWT dan Rasul-Nya."

Kelima: Memakan harta anak yatim. Maknanya adalah memanfaatkan harta mereka secara tidak sah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim itu kelak akan menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (TQS An Nisa' [4]: 10).

Keenam: Lari dari medan perang (jihad). Maknanya adalah mundur dari melawan orang-orang kafir pada saat peperangan/jihad (sedang) berkecamuk, kecuali dengan tujuan yang dibenarkan (misal sekadar siasat perang) (Lihat:TQS al-Anfal [8]:15-16).

Ketujuh: Melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita Mukminah yang selalu menjaga kehormatannya.

Kita berlindung kepada Allah SWT dari perkara-perkara yang membinasakan tersebut. Wa ma tawfiqi illa billah.
(Ust. Arif B Iskandar)
______________________________​______________________________​____

sumber : http://www.facebook.com/Syaria​hKhilafah

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

PENDIDIKAN GRATIS DAN BERMUTU DALAM ISLAM


Oleh: Hafidz Abdurrahman

Islam bukan hanya memandang pendidikan sebagai perkara penting, tetapi Islam telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat, bersama kesehatan dan keamanan. Karena itu, Islam bukan hanya menjamin terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan tetapi Islam juga mewajibkan setiap warga negara untuk menuntut ilmu, dan mewajibkan negara untuk memberikan layanan nomor satu kepada rakyatnya dalam bidang pendidikan.

Nabi bersabda, "Tuntutlah ilmu meski sampai ke Cina. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu bagi setiap orang Muslim." (Al Khathib Al Baghdadi, ArRihlah fi Thalab Al Hadits; As Suyuthi, Jami' Al Masanid wa Al Marasil, Juz 1/463). Artinya, mengutip penjelasan Al 'Allamah Al Manawi, betapapun jauhnya tempat ilrnu itu berada, maka kita diperintahkan untuk mencarinya. Sebab, mencari ilmu hukumnya adalah fardhu (Al Manawi, Faidh Al Qadir, Juz 1/543). Dari sini, bisa disimpulkan bahwa kewajiban menuntut ilrnu tidak mengenal batas teritorial. Selain tidak mengenal batas teritorial, menuntut ilmu juga tidak mengenal batas waktu, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi kepada para sahabat. Mereka menuntut ilmu hingga wafat.

Menuntut ilmu merupakan kewajiban, di mana pendidikan merupakan proses ilmu tersebut ditransformasikan kepada masyarakat, maka kebutuhan akan pendidikan merupakan keniscayaan. Karena itu, negara wajib menjamin tersedianya layanan pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Ini ditunjukkan dengan kebijakan Nabi SAW ketika menjadi kepala negara, saat menjadikan kaum kafir Quraisy sebagai tawanan, maka tebusan pembebasan mereka adalah dengan mengajari kaum Muslim baca tulis (Ibn Hisyam, as-Siroh an-Nabawiyah, Juz I/).

Hak Dasar Rakyat dan Kewajiban Negara

Ilmu merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Generasi terbaik umat Islam ini telah menguasai dunia, sekaligus mendapatkan kebaikan akhirat, melalui penguasaan mereka akan ilmu. Ilmu ini mereka peroleh melalui proses edukasi. Menyadari kebutuhan mereka akan ilmu, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia. Al Bukhari meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terusmenerus belajar, meski di usia mereka yang sudah senja (AI Bukhari, Shohih Al Bukhari, Juz 1/26). Demikian pula bagi para sahabat yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah), dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia 7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan, "Belajar di waktu kecil
seperti memahat di atas batu." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/162).

Pada zaman Nabi SAW dan para Khulafa' Rasyidin setelahnya, masjid Nabawi telah dijadikan sebagai tempat belajar. Nabi membentuk halqah ilmu, demikian juga para sahabat. Al Imam Al Yusi, dalam kitabnya, Al Qanun, menuturkan bahwa model penyampaian ilmu seperti sekarang sebenarnya bersumber dari praktik Nabi yang dilakukan kepada para sahabat Baginda di majelis-majelis ilmu. Ketika itu, masjid menjadi pusat belajar-mengajar. Umar menuturkan, "Barangkali orang yang masuk masjid, bisa diumpamakan sebagai kuda yang berhamburan. Jika dia melihat majelis kaumnya dan melihat orang yang dia kenal, maka dia duduk bersamanya." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/152). Hingga sekarang di Masjid Naba¬wi maupun Masjid Al Haram, hal¬qah ilmu ini masih berjalan.

Tidak hanya itu, menyadari akan kewajiban negara, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR Al Bukhari), maka negara Islam pun menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai.

Pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma'mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515). Setelah itu,
baru muncul Akademi Nidzamiyyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronide, Cambridge: 1929,193).

Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu juga telah berkembang Le Mosquet yang asalnya merupakan gereja, kemudian dialihfungsikan sebagai masjid, lengkap dengan madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain. Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. Mereka merupakan produk akademi pendidikan di era Khilafah.

Gratis dan Bermutu

Fakta sejarah di era keemasan Islam di atas rnembuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Khilafah telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol.

Pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khilafah karena Khilafah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui skim pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain. Dengan cara yang sama, negara juga bisa membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara. Anak-anak orang kaya dan miskin, sama-sama bisa mengenyam pendidik¬an dengan kualitas yang sama.

Dengan filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR Al Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bi¬dang pendidikan ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan ini (Al 'Allamah Syaikh Taqiyuddn An Nabhani, Muqoddimatu Ad Dus¬tur, hal. 364-370).

Begitulah cara Islam, melalui institusi Khilafah, merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu. Wallahu a'lam.


______________________________​______________________________​____

sumber : http://www.facebook.com/Syaria​hKhilaf

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook