Sponsored Ads

Download Buku Daulah Islam


Politik dalam negeri Negara Islam adalah melaksanakan hukum-hukum Islam di dalam negeri. Negara Islam memberlakukan hukum-hukum Islam dalam negeri yang tunduk pada kekuasaannya. Maka dari itu, Negara Khilafah ini menerapkan sistem muamalah, penegakan hudud, penerapan sanksi-sanksi, pemeliharaan akhlak, mengisi penegakan dengan syiar dan ibadah, dan mengatur semua urusan umat menurut hukum-hukum Islam.
Islam telah menjelaskan bagaimana memberlakukan hukum-hukumnya terhadap manusia yang tunduk pada kekuasaannya. Sasaran hukum taklifnya meliputi seluruh warga daulah, baik yang beragama Islam maupun yang bukan. Dalam penerapannya, daulah mengikuti thariqah Islam (tata operasional) karena thariqah termasuk hukum syar'i .:Download Buku:.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Download Buku Sistem Pergaulan Islam


Banyak orang telah salah-kaprah menggunakan istilah an-nizhâm al-ijtimâ‘î untuk menyebut seluruh peraturan kehidupan bermasyarakat. Padahal, penggunaan istilah tersebut tidak benar. Istilah yang lebih tepat untuk menyebut peraturan kehidupan bermasyarakat adalah anzhimah al-mujtama‘ (sistem sosial). Alasannya, sistem ini mengatur seluruh hubungan yang terjadi di dalam suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan ada-tidaknya aspek ijtimâ‘ (pergaulan atau interaksi pria-wanita, pen). Dalam sistem sosial, interaksi antar individu tidak diperhatikan, yang dilihat hanya interaksi sosialnya saja. Dari sini, muncul berbagai macam peraturan (sistem) sesuai dengan jenis dan bentuk interaksinya, seperti: sistem ekonomi; sistem pemerintahan; sistem politik; sistem pendidikan; sistem persanksian (nizhâm al-‘uqubât) mencakup hukum pidana, hukum pelanggaran terhadap syariat, atau hukum pelanggaran terhadap berbagai peraturan pemerintah; sistem muamalat (mu‘âmalah);.:Download Buku:.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Catatan Basic Islamic Leadership Training 2010


“Biasa atau istimewa?”

“Istimewa!”, sahut ratusan peserta membalas pertanyaan seorang trainer.

Hari istimewa itu, Ahad, 16 Mei 2010 memang tidak biasa, terjadi keriuh-ramaian yang membahana di STTL-YLH (Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan-Yayasan Lingkungan Hidup), sebuah kampus sederhana di pojok timur kota Yogyakarta. 120-an peserta dari berbagai kampus di Yogyakarta seperti UGM, UAD, UII, STTA, ISI, UMY, UJB, ATK, STTNAS, Hamfara, STMIK El-Rahma, dan kampus-kampus lain, bahkan jauh-jauh dari UM-Magelang “tumplek-bleg” di aula utama kampus tersebut. Bukan karena menonton konser musik, bukan juga karena ada artis ibukota. Mereka semua hadir untuk mengikuti Basic Islamic Leadership Training perdana yang diselenggarakan BKLDK Korwil DIY.

Dimulai pukul 08.00 WIB acara yang bertajuk “Beyond The Inspiration for Infinite Success” tersebut dibuka dengan sambutan Ketua Panitia Akhina Yusuf al-Haddad, disambung oleh Amir KMI STTL Akhina Fadlun Sangaji, dan Akhina Prio Agung Wicaksono selaku Korwil BKLDK DIY. Acara ini juga dibuka secara resmi oleh Ibu Ir.Warsiyah, M.Sc, selaku Wakil Ketua 3 Bag.Kemahasiswaan STTL Yogyakarta.

Training pada hari itu dipimpin oleh 2 orang fasilitator handal yang sudah malang melintang di dunia training, mereka adalah Master Hidayat Arifianto yang membawakan materi “Special Creature” dan “Total Vision”, juga Kapten Cahyono yang membawakan materi “The View of Life” dan “Beyond The Inspiration”.

Puncak ketegangan peserta terjadi saat materi Total Vision dimana dijelaskan bahwa hidup yang sesaat ini sudah seharusnya didedikasikan untuk perjuangan Islam. Itulah yang dibebankan dan harus dilakukan oleh pemuda-pemuda muslim saat ini karena pada siapa lagi umat berharap kalau bukan kepada mereka?

Pada sesi ini, sesuai yang diminta fasilitator seluruh peserta membuat afterlife mapping atau impian kematiannya, yaitu sebuah tekad apa saja yang akan mereka beri dan korbankan dalam perjuangan Islam ini hingga mereka layak mendapatkan kemuliaan di surg\a kelak. Afterlife mapping ini kemudian dibacakan dalam kelompok-kelompok kecil untuk disaksikan temannya. Takbir bersambut menggaung dalam ruangan tersebut. Beberapa peserta bahkan tak kuasa menahan air matanya jatuh.

Keharuan dan isak tangis semakin tak bisa dibendung ketika pada sesi penutup training, Kapten Cahyono membacakan do’a yang semakin meneguhkan tekad pilihan peserta yang hadir untuk bersama-sama memperjuangkan syariah dan khilafah. Bahwasanya perjuangan ini memang satu-satunya pilihan yang harus diambil karena memang tidak ada pilihan lain.

Waktu menunjukkan tepat 17.00, rangkaian acara pada hari itu ditutup dengan sambutan Pembina KMI STTL, Pak Ikhsan Hidayat. Alhamdulillah, walaupun training tersebut dilaksanakan seharian penuh, raut dan keluhan “capek” tidak sama sekali terlihat dari wajah peserta. Mereka semua antusias mengikuti rangkaian acara yang memang dikemas eksklusif dan profesional oleh tim BKLDK.

Walhasil training hari itu juga ditutup secara simbolis oleh MC Akhina Amir.

“Terima kasih, teman, pada hari ini saya telah mendapatkan impian kematian saya. Doakan, nasihati dan ingatkan saya. Agar kita bersama-sama bisa memperjuangkan Syariah dan Khilafah. Allahu Akbar!”, seru MC diikuti seluruh peserta dengan semangat, menandakan berakhirnya acara ini.

Sebelum membubarkan diri, seluruh peserta dan panitia bersalaman, berpelukan dan berfoto bersama untuk mengokohkan ukhuwah dan menegaskan kembali bahwasanya perjuangan yang akan dilakukan sepulang acara ini tidak akan mereka lakukan sendirian. Mereka mempunyai teman-teman yang memiliki satu tujuan, yang akan saling mengingatkan, saling mendoakan, saling dorong, dan saling berlomba dalam kebaikan. (Ridwan Albanjari_Media BKLDK DIY)

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

TINGGALKAN ‘POLITIK TIPU-TIPU’, KEMBALILAH KE POLITIK ISLAM...!!!

[Al-Islam 508] Setelah sempat ‘memanas’ dan menjadi berita utama dalam media massa dalam beberapa bulan lalu, Skandal Century sejak beberapa pekan lalu sesungguhnya sudah mulai ‘mendingin’, ditimpa oleh berbagai persoalan/kasus baru yang terus-menerus muncul atau sengaja dimunculkan seperti kasus Susno, isu terorisme, dll.

Sebagaimana kasus-ksus serupa sebelumnya yang melibatkan penguasa, pejabat atau para pemilik modal besar (Skandal BLBI, misalnya), Skandal Century dipastikan akan menguap begitu saja. Tanda-tanda ke arah upaya ‘mempetieskan’ Skandal Century ini sudah mulai tampak. Hal itu antara ditandai antara lain oleh ‘pengunduran’ Menkeu Sri Mulyani karena ditarik menjadi direktur operasional Bank Dunia, lalu disusul dengan pembentukan sekretariat gabungan oleh partai-partai koalisi Pemerintah.

Skandal pengucuran dana talangan kepada Bank Century pertama kali mencuat sekitar satu setengah tahun lalu ketika KPK meminta BPK melakukan audit atas bailout Century itu. Sejak saat itu bergulir serangkaian drama politik berseri yang mementaskan lakon jalannya perpolitikan di negeri ini.

Begitu hasil audit BPK atas pengucuran dana talangan kepada Bank Century keluar, drama Century pun makin ramai sampai akhirnya dibentuk Pansus Century di DPR. Perdebatan di Pansus yang disiarkan langsung juga memperlihatkan bagaimana kepentingan masing-masing partai begitu menonjol, ditambah lagi kepentingan pribadi. Proses di Pansus banyak menghamburkan waktu dengan memperdebatkan hal-hal yang tidak prinsip.

Di tengah perjalanan Pansus yang disorot oleh seluruh mata rakyat Indonesia itu terjadi pergantian anggota Pansus. Lagi-lagi tampak begitu menonjol bagaimana kepentingan partai harus dikedepankan dan semangat kritis untuk mengungkap kasus segamblang-gamblangnya harus dikorbankan. Proses seterusnya di Pansus juga tetap menunjukkan bagaimana kepentingan elit masih menjadi faktor penentu.

Di lain pihak, Pemerintah tiba-tiba mempersoalkan kembali kasus pajak Grup Bakrie, mengungkap kasus-kasus korupsi oknum-oknum aktivis partai yang terlihat “kritis” dalam Pansus, yang dari segi timing (waktu), baru diungkap saat itu, bukan dari sebelum-sebelumnya. Dengan mudah hal itu ditangkap oleh masyarakat sebagai reaksi untuk menjinakkan lawan politik.

Semua itu akhirnya terkesan untuk bisa menaikkan posisi tawar dalam melakukan negosiasi politik. Di situlah akhirnya terjadi ‘politik dagang sapi’.

Di antara puncak drama Century itu adalah ketika Sri Mulyani ‘mengundurkan diri’ dari jabatan sebagai menteri keuangan dan akan berpindah menduduki jabatan direktur operasional di Bank Dunia. Sebagian kalangan memahami bahwa itu adalah exit strategi (jalan selamat) bagi Sri Mulyani tanpa dia harus kehilangan muka secara total. Pasalnya, dengan menduduki jabatan direktur Bank Dunia, tentu sulit bagi KPK untuk memeriksa dan memproses hukum lebih jauh atas Sri Mulyani.

Sehari setelah pengunduran Sri Mulyani dibentuk sekretariat gabungan partai koalisi. Aburizal Bakrie yang saat ini menjadi ketua Partai Golkar menjadi ketua hariannya.

Lagi-lagi dalam proses pengunduran Sri Mulyani dan terbentuknya Setgab ini kuat tercium aroma kepentingan.

‘Politik Tipu-tipu’

Rangkaian drama politik di atas sekali lagi menunjukkan dengan kuat kepada kita bahwa belum ada perubahan paradigma politik di negeri ini. Padahal reformasi sudah berjalan lebih dari satu dekade. Paradigma politik yang belum berubah sama sekali itu adalah bahwa politik identik dengan kekuasaan. Semua energi politik seakan ditumpahkan demi meraih kekuasaan dan kemudian mempertahankannya. Jalannya semua proses itu dihela oleh kepentingan. Kepentingan tetap dijadikan panglima. Karena itu, selama kepetingan menghendaki, maka yang semula lawan bisa dalam sekejap menjadi kawan, dan sebaliknya. Bahwa kepentingan tetap menjadi penentu itu juga terungkap dalam curhatnya Sri Mulyani pada acara kuliah umum tentang "Kebijakan Publik dan Etika Publik" di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 18/5. Ia menjelaskan mengapa mundur dari jabatan menteri keuangan dan menerima jabatan direktur operasional di Bank Dunia. Ia mengatakan, “Ini adalah suatu kalkulasi bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik, tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik di mana perkawinan kepentingan itu sangat dominan. Banyak yang mengatakan ini adalah kartel, saya lebih suka mengatakannya kawin, walaupun jenis kelaminnya sama.”

Curhat Sri Mulyani itu menandaskan bahwa kepentingan masih begitu menonjol dalam proses politik dan kebijakan di negeri ini. Apalagi dalam sistem demokrasi yang prosesnya memerlukan biaya yang sangat besar. Akhirnya, kepentingan politik itu berkolaborasi dengan kepentingan para cukong yang bisa mengongkosi proses politik demokrasi itu. Muncullah penguasa yang lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal serta kepentingan politisi dan kelompoknya dengan menjadikan kepentingan masyarakat banyak sebagai komoditasnya.

Ironisnya, semua itu bukan hanya terjadi di pusat, tetapi juga menjalar dan merata di daerah-daerah. Lihat saja, lebih dari seratus kepala daerah dan pejabat daerah yang notabene hasil dari proses demokrasi sudah antre untuk diproses hukum oleh arapat karena kasus korupsi. Lihat pula bagaimana mereka berupaya mati-matian agar tampuk kekuasaan di daerah itu tidak berpindah dari tangan mereka. Untuk itu maka istri, anak, kerabat atau orang-orang dekat mereka pun dicalonkan untuk mejadi pengganti mereka. Tentu saja peran para cukong dalam proses itu akhirnya menjadi demikian besar.

Karena kepentingan yang menjadi penentu, proses-proses hukum pun senantiasa pilih kasih. Jika pelakunya para pejabat, mereka yang dekat dengan kekuasaan, atau para pemilik modal, maka akan dibiarkan atau setidaknya prosesnya akan berjalan begitu lambat. Ketika masyarakat lupa atau tidak lagi memperhatikannya, kasusnya pun dipetieskan. Penanganan kasus Century pun diindikasikan akan menjadi seperti itu. Itulah politik ‘politik tipu-tipu’ ala demokrasi. Politik semacam ini tentu harus segera ditinggalkan.

Politik Islam

Semua itu tentu menyalahi tuntunan Islam. Dalam Islam politik adalah bagaimana memelihara urusan rakyat. Politik mengurus rakyat itu adalah tugas para nabi dan dilanjutkan menjadi tugas setiap khalifah, pejabat dan pemimpin masyarakat pasca Nabi saw. Karena itu, Islam menggariskan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan rakyat. Nabi saw. bersabda:

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin yang menangani urusan masyarakat adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pemimpin, termasuk para pejabat dan politisi, seperti diungkapkan Nabi saw. di atas, bertanggung jawab mengurusi urusan dan kepentingan rakyat laksana seorang penggembala mengurusi gembalaannya. Karena itu, tugas pemimpin itu adalah merealisasikan kemaslahatan bagi rakyat dan menolak kemadaratan dari mereka; bukan mengedepankan kepentingannya sendiri, kelompoknya atau pemilik modal, apalagi pihak asing.

Sebagai agama paripurna, ketika mensyariatkan bahwa kepemimpinan dan jabatan adalah demi mengurusi urusan dan kemaslahatan rakyat, Islam juga memberikan serangkaian hukum yang harus dijadikan panduan dan dipegang teguh untuk merealisasikan sekaligus menjamin terpeliharanya kepentingan rakyat itu. Semua itu terangkum dalam sistem syariah baik di bidang pemerintahan seperti kewajiban muhasabah (kontrol), hukum-hukum pemerintahan, dsb; di bidang ekonomi mulai hukum tentang kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan itu, hukum-hukum tentang moneter, hukum-hukum tentang Baitul Mal, dsb; maupun dalam bidang sosial, kebudayaan, politik luar negeri dan sebagainya.

Islam tidak membiarkan pembuatan hukum dan aturan diserahkan kepada manusia sehingga menjadi komoditi tawar-menawar berdasarkan kepentingan. Islam telah menetapkan hukum-hukum pengelolaan negara dan urusan masyarakat yang harus dijadikan pandungan dan dipedomani oleh setiap penguasa, pejabat, pemimpin dan selurun rakyat. Untuk menjamin pelaksanaan hukum-hukum itu secara baik, Islam menetapkan muhasabah (kontrol/koreksi) terhadap penguasa sebagai kewajiban bagi masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Islam memberikan ruang yang sedemikian luas bagi semua itu sebagaimana bisa dilihat dalam hukum-hukum politik dan pemerintahan Islam secara rinci.

Islam juga menetapkan adanya pertanggungjawaban di akhirat atas pemimpin. Setiap pemimpin akan Allah mintai pertanggungjawaban atas bagaimana dia mengurusi kepentingan rakyat yang Allah bebankan di atas pundaknya. Jika pemimpin sempurna menunaikan tugasnya mengurusi kepentingan rakyatnya, maka dia akan mendapat tempat di surga bersama para nabi dan rasul. Sebaliknya, jika dia menipu rakyatnya maka dia akan ditandai sesuai dengan kadar penipuannya. Nabi saw. bersabda:

« لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًا مِنْ أَمِيرِ عَامَّةٍ »

Setiap pengkhianat memiliki panji pada Hari Kiamat kelak sesuai dengan kadar pengkhianatannya. Ingatlah, tidak ada pengkhianatan yang lebih besar dari (pengkhianatan) seorang pemimpin masyarakat (HR Muslim).

Wahai Kaum Muslim:

Fakta-fakta yang ada di depan kita telah jelas sekali menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi sebagai bagian dari ideologi Kapitalisme hanya melahirkan para politisi dan politik yang mengabdi pada kepentingan politik politisi, kelompoknya dan para pemilik modal bahkan pihak-pihak asing. Sebaliknya, Islam–yang kita telah bersaksi untuk menjadi Muslim secara total saat kita mengucapkan dua kalimah syahadat–telah memberikan tuntunan, aturan dan sistem yang menjamin para pejabat, pemimpin dan politisi akan senantiasa memperhatikan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Lebih dari itu, Allah menjamin bahwa Islam yang Dia turunkan untuk menjadi pedoman hidup kita akan memberikan kehidupan dan kerahmatan bagi seluruh alam. Karena itu, sudah saatnya dan sudah mendesak bagi kita untuk meninggalkan sistem politik sekular demokrasi, kemudian menggantinya dengan sistem Islam yang telah Allah SWT turunkan.

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang member kalian kehidupan (QS al-ANfal [8]: 24).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

komentar alislam:

RUU Kesetaraan Gender Target Disahkan 2011 (Vivanews.com, 25/5/2010).

Waspadailah bahaya di balik RUU tersebut!

sumber :http://hizbut-tahrir.or.id/2010/05/26/tinggalkan-politik-tipu-tipu-kembalilah-ke-politik-islam/

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Rosulullah Adalah Seorang Enterpreneur.???

Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya perdagangan itu di dunia adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki” (HR. Ahmad)

Disamping sebagai Negarawan dan Politikus ternyata Rosulullah Saw adalah seorang wirausahawan yang sangat ulet, jujur, amanah, terpecaya dan profesional, terutama ini beliau tunjukan ketika beliau di mekah. Kesuksesan Nabi Muhammad Saw telah banyak dibahas para ahli sejarah, baik sejarawan Islam maupun sejarawan Barat1.
Jauh sebelum Frederick W. Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad Saw sudah mengimplementasikan nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya.

Beliau telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Nabi MUhammmad tidak pernah membuat para pelanggannya komplen. Beliau sering menjaga janjinya dan menyerahkan barang-barang yang di pesan dengan tepat waktu, menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi dengan siapapun. Prinsip bisnis modern seperti tujuan pelanggan dan kepuasan konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Nabi Muhammad Saw ketika ia masih muda.

Berkat kredibilitas beliau yang diberi gelar alamin, tidak mengherankan jika Sayyidah Khadijah rah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan menggunakan modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi hasil. Dalam dunia manajemen, kata benar digunakan oleh Peter Drucker untuk merumuskan makna efisiensi dan efektivitas. Efisiensi berarti melakukan sesuatu secara benar (do thing right), sedangkan efektivitas adalah melakukan sesuatu yang benar (do the right thing). Efisiensi ditekankan pada penghematan dalam penggunaan input untuk menghasilkan suatu output tertentu. Upaya ini diwujudkan melalui penerapan konsep dan teori manajemen yang tepat. Sedangkan efektivitas ditekankan pada tingkat pencapaian atas tujuan yang diwujudkan melalui penerapan leadership dan pemilihan strategi yang tepat. Prinsip efisiensi dan efektivitas ini digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu bisnis. Semakin efisien dan efektif suatu perusahaan, maka semakin kompetitif perusahaan tersebut. Dengan kata lain, agar sukses dalam menjalankan binis maka sifat shiddiq dan amanah dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas.

Tak ada hal yang tidak menarik untuk dipelajari, terlebih apa yang kita pelajari berasal dari suri tauladan kita, Murabbi utama kita, Rosulullah SAW. Semoga dengan belajar satu hal lagi dari Rosul, kita dapat termotivasi lagi dari sisi lain Rosul atas motivasi yang begitu kuat bagi umat Islam untuk bekerja dan berwirausaha. Rasulullah SAW bersabda, "Tiada seorang yang makan makanan yang lebih baik dari makanan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha). Sesunggunya Nabi Allah Daud, itupun makan dari hasil usahanya sendiri (wirausaha). H.R. Bukhari. Wallahu a’lam.

Dikutip dari:
1. http://al-kahfi.net/muamalah/maulid-dan-manajemen-bisnis-rasulullah-saw/
2. http://www.islamic-center.or.id
3. http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=10450.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Jenis-Jenis Chip Mikrokontroler

A. Pendahuluan
Mikrokontroler adalah sebuah sistem komputer fungsional dalam sebuah chip. Di dalamnya terkandung sebuah inti prosesor, memori (sejumlah kecil RAM, memori program, atau keduanya), dan perlengkapan input output.
Dengan kata lain, mikrokontroler adalah suatu alat elektronika digital yang mempunyai masukan dan keluaran serta kendali dengan program yang bisa ditulis dan dihapus dengan cara khusus, cara kerja mikrokontroler sebenarnya membaca dan menulis data. Sekedar contoh, bayangkan diri Anda saat mulai belajar membaca dan menulis, ketika Anda sudah bisa melakukan hal itu Anda bisa membaca tulisan apapun baik buku, cerpen, artikel dan sebagainya, dan Andapun bisa pula menulis hal-hal sebaliknya. Begitu pula jika Anda sudah mahir membaca dan menulis data maka Anda dapat membuat program untuk membuat suatu sistem pengaturan otomatik menggunakan mikrokontroler sesuai keinginan Anda. Mikrokontroler merupakan komputer didalam chip yang digunakan untuk mengontrol peralatan elektronik, yang menekankan efisiensi dan efektifitas biaya. Secara harfiahnya bisa disebut “pengendali kecil” dimana sebuah sistem elektronik yang sebelumnya banyak memerlukan komponen-komponen pendukung seperti IC TTL dan CMOS dapat direduksi/diperkecil dan akhirnya terpusat serta dikendalikan oleh mikrokontroler ini.
Mikrokonktroler digunakan dalam produk dan alat yang dikendalikan secara automatis, seperti sistem kontrol mesin, remote controls, mesin kantor, peralatan rumah tangga, alat berat, dan mainan. Dengan mengurangi ukuran, biaya, dan konsumsi tenaga dibandingkan dengan mendesain menggunakan mikroprosesor memori, dan alat input output yang terpisah, kehadiran mikrokontroler membuat kontrol elektrik untuk berbagai proses menjadi lebih ekonomis.

B. Perkembangan Mikrokontroler
Mikrokontroler pertama kali dikenalkan oleh Texas Instrument dengan seri TMS 1000 pada tahun 1974 yang merupakan mikrokontroler 4 bit pertama. Mikrokontroler ini mulai dibuat sejak 1971. Merupakan mikrokomputer dalam sebuah chip, lengkap dengan RAM dan ROM. Kemudian, pada tahun 1976 Intel mengeluarkan mikrokontroler yang kelak menjadi populer dengan nama 8748 yang merupakan mikrokontroler 8 bit, yang merupakan mikrokontroler dari keluarga MCS 48. Sekarang di pasaran banyak sekali ditemui mikrokontroler mulai dari 8 bit sampai dengan 64 bit, sehingga perbedaan antara mikrokontroler dan mikroprosesor sangat tipis. Masing2 vendor mengeluarkan mikrokontroler dengan dilengkapi fasilitas2 yang cenderung memudahkan user untuk merancang sebuah sistem dengan komponen luar yang relatif lebih sedikit.
Saat ini mikrokontroler yang banyak beredar dipasaran adalah mikrokontroler 8 bit varian keluarga MCS51(CISC) yang dikeluarkan oleh Atmel dengan seri AT89Sxx, dan mikrokontroler AVR yang merupakan mikrokontroler RISC dengan seri ATMEGA8535 (walaupun varian dari mikrokontroler AVR sangatlah banyak, dengan masing2 memiliki fitur yang berbeda2). Dengan mikrokontroler tersebut pengguna (pemula) sudah bisa membuat sebuah sistem untuk keperluan sehari-hari, seperti pengendali peralatan rumah tangga jarak jauh yang menggunakan remote control televisi, radio frekuensi, maupun menggunakan ponsel, membuat jam digital, termometer digital dan sebagainya.

C. Jenis-jenis Mikrokontroller
Secara umum mikrokontroler terbagi menjadi 3 keluarga besar yang ada di pasaran. Setiap keluarga memepunyai cirri khas dan karekteriktik sendiri sendiri, berikut pembagian keluarga dalam mkrokontroler:
a. Keluarga MCS51
Mikrokonktroler ini termasuk dalam keluarga mikrokonktroler CISC. Sebagian besar instruksinya dieksekusi dalam 12 siklus clock. Mikrokontroler ini berdasarkan arsitektur Harvard dan meskipun awalnya dirancang untuk aplikasi mikrokontroler chip tunggal, sebuah mode perluasan telah mengizinkan sebuah ROM luar 64KB dan RAM luar 64KB diberikan alamat dengan cara jalur pemilihan chip yang terpisah untuk akses program dan memori data.
Salah satu kemampuan dari mikrokontroler 8051 adalah pemasukan sebuah mesin pemroses boolean yang mengijikan operasi logika boolean tingkatan-bit dapat dilakukan secara langsung dan secara efisien dalam register internal dan RAM. Karena itulah MCS51 digunakan dalam rancangan awal PLC (programmable Logic Control).

b. AVR
Mikrokonktroler Alv and Vegard’s Risc processor atau sering disingkat AVR merupakan mikrokonktroler RISC 8 bit. Karena RISC inilah sebagian besar kode instruksinya dikemas dalam satu siklus clock. AVR adalah jenis mikrokontroler yang paling sering dipakai dalam bidang elektronika dan instrumentasi.
Secara umum, AVR dapat dikelompokkan dalam 4 kelas. Pada dasarnya yang membedakan masing-masing kelas adalah memori, peripheral dan fungsinya. Keempat kelas tersebut adalah keluarga ATTiny, keluarga AT90Sxx, keluarga ATMega dan AT86RFxx.

c. PIC
PIC ialah keluarga mikrokontroler tipe RISC buatan Microchip Technology. Bersumber dari PIC1650 yang dibuat oleh Divisi Mikroelektronika General Instruments. Teknologi Microchip tidak menggukana PIC sebagai akronim,melaikan nama brandnya ialah PICmicro. Hal ini karena PIC singkatan dari Peripheral Interface Controller, tetapi General Instruments mempunyai akronim PIC1650 sebagai Programmabel Intelligent Computer.
PIC pada awalnya dibuat menggunakan teknologi General Instruments 16 bit CPU yaitu CP1600. * bit PIC dibuat pertama kali 1975 untuk meningkatkan performa sistem peningkatan pada I/). Saat ini PIC telah dilengkapi dengan EPROM dan komunikasi serial, UAT, kernel kontrol motor dll serta memori program dari 512 word hingga 32 word. 1 Word disini sama dengan 1 instruki bahasa assembly yang bervariasi dari 12 hingga 16 bit, tergantung dari tipe PICmicro tersebut. Silahkan kunjungi www.microchip.com untuk melihat berbagai produk chip tersebut
Pada awalnya, PIC merupakan kependekan dari Programmable Interface Controller. Tetapi pada perkembangannya berubah menjadi Programmable Intelligent Computer. PIC termasuk keluarga mikrokonktroler berarsitektur Harvard yang dibuat oleh Microchip Technology. Awalnya dikembangkan oleh Divisi Mikroelektronik General Instruments dengan nama PIC1640. Sekarang Microhip telah mengumumkan pembuatan PIC-nya yang keenam.
PIC cukup popular digunakan oleh para developer dan para penghobi ngoprek karena biayanya yang rendah, ktersediaan dan penggunaan yang luas, database aplikasi yang besar, serta pemrograman (dan pemrograman ulang) melalui hubungan serial pada komputer.
Masing-masing mempunyai keluarga mempunyai turunan sendiri-sendiri. Sekarang kita akan membahas pembagian jenis-jenis mikrokonktroler yang telah umum digunakan.

1. Mikrokontroler AT89S52
Mikrokontroler 89S52 merupakan versi terbaru dibandingkan mikrokontroler AT89C51 yang telah banyak digunakan saat ini. AT89S52 mmpunyai kelebihan yaitu mempunyai flash memori sebesar 8K bytei, RAM 256 byte serta 2 buah data pointer 16 bit. Spesifikasinya :
 Kompatibel dengan keluarga mikrokontroler MCS51 sebelumnya
 8 K Bytes In system Programmable (ISP) flash memori dengan kemampuan 1000 kali baca/tulis
 tegangan kerja 4-5.0V
 Bekerja dengan rentang 0 – 33MHz
 256x8 bit RAM internal
 32 jarul I/) dapat deprogram
 3 buah 16 bit Timer/Counter
 8 sumber interrupt
 saluran full dupleks serial UART
 watchdog timer
 dual data pointer
 Mode pemrograman ISP yang fleksibel (Byte dan Page Mode)
Jenis-jenis Atmel lain yang ada di pasaran adalah sebagai berikut :
• Atmel AT91 series (ARM THUMB architecture)
• Atmel AVR32
• AT90, Tiny & Mega series – AVR (Atmel Norway design)
• Atmel AT89 series (Intel 8051/MCS51 architecture)
• MARC4

2. AMCC
Hingga Mei 2004, mikrokontroler ini masih dikembangkan dan dipasarkan oleh IBM, hingga kemudian keluarga 4xx dijual ke Applied Micro Circuits Corporation.
• 403 PowerPC CPU (PPC 403GCX)
• 405 PowerPC CPU (PPC 405EP, PPC 405GP/CR, PPC 405GPr, PPC NPe405H/L)
• 440 PowerPC Book-E CPU (PPC 440GP, PPC 440GX, PPC 440EP/EPx/GRx, PPC 440SP/SPe)

3. Cypress MicroSystems
Jenis dari Cypress MicroSystems yang ada di pasaran adalah CY8C2xxxx (PSoC)

4. Freescale Semiconductor
Hingga 2004, mikrokontroler ini dikembangkan dan dipasarkan olehMotorola, yang divisi semikonduktornya dilepas untuk mempermudah pengembangan Freescale Semiconductor.
• 8-bit (68HC05 (CPU05), 68HC08 (CPU08), 68HC11 (CPU11))
• 16-bit (68HC12 (CPU12), 68HC16 (CPU16), Freescale DSP56800 (DSPcontroller))
• 32-bit (Freescale 683XX (CPU32), MPC500, MPC 860 (PowerQUICC), MPC 8240/8250 (PowerQUICC II), MPC 8540/8555/8560 (PowerQUICC III))

5. Fujitsu
Jenis chip mikrokontroler yang dikeluarkan oleh fujitsu diantaranya adalah :
• F²MC Family (8/16 bit)
• FR Family (32 bit)
• FR-V Family (32 bit RISC)

6. Holtek
Chip mikrokontroler keluaran holtek adalah jenis HT8
7. Intel
Intel adalah salah satu perusahan yang banyak mengeluarkan jenis chip di pasaran, secara umum intel mengeluarkan dua jenis chip mikrokontroler yaitu:
• 8-bit (8XC42, MCS48, MCS51, 8061, 8xC251)
• 16-bit (80186/88, MCS96, MXS296, 32-bit, 386EX, i960)

8. Microchip
Dalam mengeluarkan prduknya, microchip membagi produknya kedalam beberapa jenis yaitu :
• Low End, Mikrokontroler PIC 12-bit
• Mid Range, Mikrokontroler PIC 14-bit
(PIC16F84, PIC16F877)
• 16-bit instruction PIC
• High End, Mikrokontroler PIC 16-bit

9. National Semiconductor
Jenis chip mikrokontroler yang dikeluarkan oleh National Semiconductor adalah jenis COP8 dan CR16.

10. NEC
NEC mempunyai beberapa jenis chip mikrokontroler yang ada dipasaran yaitu : jenis 17K, 75X, 78K, V850.

11. Philips Semiconductors
Ada tiga jenis chip mikrokontroler yang dikeluarkan oleh perusahaan ini yaitu : LPC2000, LPC900, LPC700

12. Renesas Tech. Corp.
Renesas adalah perusahan patungan Hitachi dan Mitsubishi. Perusahaan ini mengeluarkan beberapa jenis mikrokontroler yang ada dipasaran yaitu : H8, SH, M16C, M32R

13. STMicroelectronics
STMicroelectronic merupakan salah satu perusahaan yang bergerak juga dalam produksi chip mikrokontroler, diantaranya produknya adalah : ST 62, ST 7

14. Texas Instruments
Dua jenis chip mikrokontroler yang di produksi oleh perusahaan ini adalah : TMS370, MSP430

15. Western Design Center
Perusahaan Wistern Design Center memproduksi dua tipe chip mikrokontroler yang beredar di pasaran yaitu :
• Tipe 8-bit (W65C02-based µCs)
• Tipe 16-bit (W65816-based µCs)

16. Ubicom
Ubicom memproduksi beberapa tipe chip mikrokontroler diantaranya adalah :
a. SX-28, SX-48, SX-54
Seri Ubicom's SX series adalah jenis mikrokontroler 8 bit yang, tidak seperti biasanya, memiliki kecepatan tinggi, memiliki sumber daya memori yang besar, dan fleksibilitas tinggi. Beberapa pengguna menganjurkan mikrokontroller pemercepat PICs. Meskipun keragaman jenis mikrokontroler Ubicom's SX sebenarnya terbatas, kecepatan dan kelebihan sumber dayanya yang besar membuat programmer bisa membuat perangkat virtual lain yang dibutuhkan. Referensi bisa ditemukan di Parallax's Web site, sebagai penyalur utama.
b. IP2022
Ubicom's IP2022 adalah mikrokontroler 8 bit berkecepatan tinggi (120 MIPs). Fasilitasnya berupa: 64k FLASH code memory, 16k PRAM (fast code dan packet buffering), 4k data memory, 8-channel A/D, various timers, and on-chip support for Ethernet, USB, UART, SPI and GPSI interfaces.

17. Xilinx
Ada dua jenis chip mikrokontroler yang dikeluarkan oleh perusahaan Xilink diataranya adalah :
• Microblaze softcore 32 bit microcontroller
• Picoblaze softcore 8 bit microcontroller

18. ZiLOG
Dua jenis chip mikrokontroler dari ZiLOG yang ada di pasaran adalah :
• Z8
• Z86E02
Disamping itu, Ada banyak mikrokontroller yang dirancang oleh produsen sebagai sarana hobi. Biasanya mikrokontroller seperti ini dimuati interpreter BASIC, dihubungkan ke bagian Dual Inline Pin bersama power regulator dan beberapa fasilitas lain. PICs sepertinya sangat popular untuk jenis ini, barangkali karena adanya perlindungan terhadap listrik statis. Diantara produk ini adalah
1. Parallax, Inc.
• BASIC Stamp. Nama besar di mikrokontroler BASIC, meskipun sebenarnya lamban dan harganya tidak sebanding.
• SX-Key. Harga murahnya harus dibayar dengan kualitas yang buruk.
2. PicAxe
Murah, tidak lebih dari sekedar PIC yang dimuati BASIC. Bagian programmernya ditancapi dengan 3 resistors. Penawaran BASIC menawarkan fungsionalitas yang besar dengan adanya fasilitas IF..GOTO secara terbatas

D. Kesimpulan
Dari setiap jenis chip mikrokontroler mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bagi kita sebagai pengguna harus pintar-pintar memilih chip mikrokontroler tersebut sesuai dengan yang kita butuh. Harus diingat bahwa chip mikrokontroler yang mahal belum tentu bagus tetapi chip yang bagus adalag sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

E. Sumber Rujukan :
http://www.computermuseum.li/Testpage/Intel-microprocessors.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Intel_8048
http://smithsonianchips.si.edu/augarten/p38.htm
http://hme.ee.itb.ac.id/elektron/?p=32
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengendali_mikro
http://soel.umpo.ac.id/materi/Pengantar%20Mikrokontroller%20MCS51.pdf

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Kunci Sukses Berwirausaha

Tiga kata kunci menurut Purdi, untuk memulai suatu usaha yaitu :
BODOL (Berani, Optimis, pakai Duit Orang lain), BOTOL (Berani, Optimis, pakai Tenaga Orang Lain), dan BOBOL (berani, optimis, pakai sistem Bisnis Orang Lain/ meniru Bisnis Orang Lain).

BODOL. Menggunakan uang orang lain dalam memulai usaha Justru amat menantang karena ada kewajiban untuk mengembalikannya tepat waktu. Lagipula jika uang orang lain yang dipakai maka secara logika spritual yang mendoakan supaya usaha sukses tidak hanya kita, tapi keluarga yang punya uang

BOTOL. Purdi sendiri telah menerapkannya yakni dengan membuka restoran Padang. Karena tak tahu seluk beluk masakan Padang, ia kemudianmerekrut koki restoran Padang ternama. Tugas Purdi hanya sebatas menentukan standar kualitas, mengawasi dan \”terima setoran\”

BOBOL. Untuk BOBOL, Purdi menyarankan untuk meniru sistem yang sudah sukses, misalnya waralaba. Atau untuk jenis produknya, bisa meniru yang sudah sukses dengan melakukan sedikit inovasi. Bukan mustahil, kita yang datang belakangan bisa lebih sukses dari pendahulu kita jika memang kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah

Jadi menurut Purdi, seorang entrepreneur harus bisa memanfaatkan waktu, tenaga (ketrampilan) dan duit orang lain untuk mencapai kesuksesan. Artinya, yang fokus dalam berusaha bukanlah si pengusahanya melainkan para profesional yang bekerja padanya. Tentu saja para profesional ini bisa jadi lebih pandai darinya. Agar para profesional ini tidak lari, Purdi punya satu jurus: besarkan radius kepercayaan mereka. Salah satunya dengan cara berikan saham kosong atau profit sharing.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

“KHOBAR AHAD TIDAK MENJADI HUJJAH DALAM PERKARA-PERKARA AQIDAH”

Tulisan ini bicara tentang sebuah pernyataan yang berbunyi “khobar ahad tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara aqidah” yang terdapat dalam buku Asy-Syakhshiyah Al Islamiyah juz I karya Taqiyyuddiin An Nabhaaniy rahimahullaah. Kami terdorong untuk membahas permasalahan ini karena sepenggal pernyataan di atas sering dicomot begitu saja tanpa menyertakan penjelasan yang memadai dari penulisnya. Padahal beliau menulis dua bab tersendiri untuk mempertanggungjawabkan pernyataan tersebut. Kemudian -setelah dicomot- sepotong kalimat itu diangkat dan disyarah sekehendak hati oleh orang yang berkeinginan untuk menyerang, mendiskreditkan, membodoh-bodohkan, dan menyesat-nyesatkan penulisnya. Seringkali serangan mereka tidak berpijak pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis. Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terlontarkan. Seperti pernyataan seseorang “Taqiyudiin melarang pengikutnya untuk mempercayai apa yang ditunjukkan oleh hadits ahad”. Pernyataan yang berbentuk mutlak tanpa embel-embel dan penjelasan ini sama sekali tidak benar, dan itu akan menjadi suatu perkara besar di pengadilan Allah kelak, yaitu saat siapa saja yang terdzolimi oleh lisan seseorang, maka ia akan mendapat keadilan. Dan kami akan menjadi salah seorang di antara ribuan orang yang akan menuntut keadilan dalam perkara ini. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita selesaikan di dunia saja. Wallaahu Musta’an.

Bukan Pernyataan Baru Yang “Nyleneh”.
Siapa saja yang tersentak, terheran-heran, bergeleng-geleng kepala ketika mendengar pernyataan bahwa hadits ahad tidak dijadikan hujjah dalam perkara aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ia belum berinteraksi dengan khasanah keilmuan islam mengenai masalah ini, meski hanya sedikit. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan itu, siapa saja yang akrab dengan tsaqofah islam, mengikuti perbincangan para ulama dalam bidang ushuluddiin, ushul fiqh mau pun hadits, dia akan menemukan berbagai pernyataan dan polemik seputar masalah ini, mulai dari apa faedah yang didatangkan oleh hadits ahad, sampai dalam masalah apa dibolehkan untuk ber-istid-laal (berdalil) dengan hadits ahad. Dia akan menemukan nama ulama -yang sehari-hari namanya kita sebut- memiliki pendapat yang sama dengan Taqiyyudiin -seperti Hujjatul Islaam Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi sampai ulama kontemporer seperti syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf, dll. Sebagaimana dia juga akan menemukan ulama besar yang menentang pernyataan itu -seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dengan kemampuan seadanya, kami baru bisa menyentuhkan satu ujung jari ke kulit terluar dari lautan ilmu yang luas itu. Yang dengan kelemahan itu kami bertambah cinta kepada para ulama dan bertambah kecil di hadapan Allah Ta’alaa. Tapi alhamdulillaah -dengan karunia yang diberikan Allah- kami bisa merasakan betapa para ulama telah memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dan karena kehendak Allah, melalui ilmu yang mereka uraikan, kita bisa berusaha menentukan sikap dalam masalah pelik yang mereka perdebatkan ini. Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka hanya kepadaNyalah kita minta pertolongan.
Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddiin
Sebelum lebih jauh mengurai tentang permasalahan hadits ahad dalam aqidah, kepada siapa saja kita hendak bicara, terlebih dahulu harus dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.
Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.
Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.
Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.
Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.
Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.
Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.
Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah). Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.
Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.
Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.
Yang perlu dijelaskan adalah:
Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz-dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.
Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.
Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.

Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.
Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak). Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz-dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).
Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?
Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).
Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.
Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.
Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya-secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkannya-secara-pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang-pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.
Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.
Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang-Wajib-Dibenarkan-Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?
Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.
Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.
Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.
Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.
Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.
Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.
Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.
Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.
Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)
Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab
Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis
1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!
Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.
Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan”? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?”. Itulah perkataan mereka.
Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.
Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenaran yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.
Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan-secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.
Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.
Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz-dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz-dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).
Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan-dengan-pembenaran-yang-pasti”, dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.

2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam
Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.
Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.
Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?
Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan). Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.
Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.
Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.
Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam

3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya
Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.
Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz-dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.
Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).
Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.
Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.
Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama. Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq
Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam
walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Seni Komunikasi Ideologis pada Kalangan Terdidik

Nopriadi ST, M.Sc
Staf Pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

”Payung untuk semua muslim di dunia? Menurut saya Khilafah itu utopis!.”
”Sulit terbayang bagaimana sistem ekonomi tanpa interest (riba). Perubahan yang membuat chaos!”
”Gerakan anda tidak realistis!”
”Lebih baik lakukan hal yang riil, bangun ekonomi umat, berdayakan mereka dengan pelatihan aplikatif!”
”Kita tidak berada di ruang kosong. Kita hidup di sebuah negara. You tidak realistis.”

Anda pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti di atas? Nada sesumbang ini kerap muncul di tengah optimisme dan gelora semangat seruan kembali pada kehidupan Islam. Sebagian kalangan, terutama kelompok terdidik (educated people), menilai gagasan back to Islam tidak lebih dari sebuah impian, yang akan berakhir menjadi mimpi. Apatah lagi menyatukan muslim seluruh dunia di bawah payung Khilafah Islamiyah ! Gagasan mulia ini, meski didukung argumentasi nash, masih dilihat sebagai visi yang beraroma utopia bahkan sebagian telah memvonis sebagai visi yang utopis. Isyarat keengganan dari sebagian kalangan terdidik akan semakin jelas tatkala khilafah dengan sistemnya yang canggih dikumandangkan sebagai problem solver satu-satunya atas segala problem kehidupan. Mereka sangat sulit menerima(baca: menangkap) opini yang sering digaungkan oleh para duta Islam secara jernih. Padahal opini ini, Islam is the solution with Calipahte and Syariah, adalah penting untuk membangun kepercayaan diri dan optimisme umat agar mau kembali ke pangkuan Islam secara total.

Tulisan berikut bertujuan untuk menganalisis kesenjangan semangat dan kendala komunikasi yang biasa terjadi dengan kalangan terdidik. Dimulai dengan menganalisis faktor penyebab, kemudian menawarkan strategi komunikasi efektif saat berdialog dengan mereka. Perlu dicatat, kalangan terdidik disini adalah kelompok umat yang memiliki tradisi berpikir ilmiah, memiliki metodologi berpikir ’mapan’ dan selalu bersandar pada fakta empirik. Mereka adalah kalangan profesional seperti para pakar, dosen, pengamat dan peneliti. Termasuk pula para profesional bisnis, entrepreuner, maupun pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, atau siapa saja yang memiliki pola pikir ’mapan’ dalam menyelesaikan problem, baik terkait masalah sosial maupun bidang spesifik yang digelutinya. Secara sosio-ekonomis kalangan ini termasuk masyarakat kelompok menengah ke atas yang posisinya sangat strategis dan signifikan bagi proyek perubahan peradaban.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa diambil manfaat, baik oleh pihak yang terlibat dalam dakwah mulia ini (semoga Allah SWT merahmati anda dalam perjuangan ini), juga untuk kalangan terdidik yang mau mengapresasi semangat dakwah (mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan hidayah-Nya kepada anda).



Kendala komunikasi pertama: Lack of Knowledge

Bagi sebagian kalangan terdidik seruan kembali pada kehidupan Islam dengan khilafah dan syariah terkesan sebagai gagasan bombastis, melebih-lebihkan (hyperbolic) dan produk berpikir meloncat (logical jumping). Kesan ini sering muncul ketika edukasi dan opini kecanggihan sistem Islam diartikulasikan dengan penuh semangat bersamaan dengan paparan bobroknya realitas produk kapitalisme. Biasanya para duta Islam mencoba menawarkan sistem Islam sebagai konsep terbaik, the best among others, dan mencoba mempersuasi dengan argumen syara’. Sering disampaikan bahwa daulah Islam adalah global state yang wajib untuk seluruh muslim di dunia. Khilafah dengan syariatnya mampu menjamin terpenuhinya sandang, pangan dan papan serta pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi masyarakat! Sistem ekonomi Islam mampu memberantas kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Sistem pidana Islam mampu mengurangi secara signifikan kejahatan dan kerusakan sosial! Sistem pendidikan Islam tidak materialis, namun mampu membangun kepribadian Islam sekaligus membekali ilmu alat untuk hidup! Islam is the best dan mampu menyelesaikan seluruh problem-problem riil kehidupan! Problem datang, kasih sistem Islam, maka semua akan beres! Pesan dan pola komunikasi seperti ini sering tidak mendapat minat dari kalangan terdidik. Mereka bertambah ’gerah’ karena penjelasan-penjelasan seperti ini selain seperti melayang di udara, juga sulit dipahami how to-nya.

Tidak terbayangkan oleh mereka bagaimana gambaran penyatuan negeri-negeri Islam ke dalam satu payung negara khilafah, karena faktanya umat Islam hidup terpisah di lebih dari 50 negara, masing-masing memiliki kepentingan nasional dan problematika spesifik yang complicated. Begitu juga, sulit terbayangkan dalam benak mereka bagaimana ada sebuah negara yang akan bisa menandingi bahkan menundukkan super power dunia Amerika Serikat. Mereka juga sulit memahami bagaimana mungkin negara khilafah kelak dapat menerapkan sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan, seperti masa zaman Umar bin Abdul Azis, padahal realitas umat sekarang berada dalam kemiskinan, dipimpin oleh para koruptor dan di bawah dominasi penjajah kapitalis. Jadi, segala tawaran pictures masa depan berdasar syara’, bagi mereka, terkesan tidak lebih seperti khayalan di malam hari, tidak sesuai konteks yang ada sekarang.

Perlu dipahami bahwa persoalan ini sebenarnya muncul karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge) pada kalangan terdidik seputar sistem Islam. Sistem Islam adalah sebuah sistem menyeluruh dan saling terkait (integral and holistic) yang didalamnya ada berbagai sistem: sistem sosial, sistem ekonomi-keuangan, sistem politik-pemerintahan, sistem pidana-perdata, hubungan internasional dan lainnya. Memahami bahwa Islam menjamin pendidikan terbaik dan gratis bagi masyarakat tidak hanya memerlukan pemahaman tentang sistem pendidikan, namun juga musti paham politik kebijakan ekonomi dan sistem keuangan dalam konteks negara Khilafah. Bila sistem Islam mencita-citakan about zero percent criminality, berarti tidak hanya membutuhkan pemahaman tentang adilnya sistem uqubat, namun juga perlu wawasan seputar sistem ekonomi, pendidikan dan pemerintahan. Thesis bahwa khilafah dapat menjadi super power dunia dan mampu memukul Amerika tidak hanya membutuhkan pengetahuan tentang konsep amir jihad, wajib militer dan kebijakan industri perang, namun juga perlu wawasan sistem ekonomi-keuangan, konsep hubungan luar negeri, juga kekuatan spritual (al-quwwatu ar-ruhiyah) pada diri umat. Jadi, dibutuhkan tali temali pengetahuan seputar sistem-sistem yang ada agar sampai pada level pemahaman dan bisa mengapresiasi kecanggihan sistem-sistem Islam. Sesuai kaidah berpikir, pemahaman bisa terjadi secara sempurna bila cukup pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) yang mendukung. Sayangnya prior knowledge yang cukup biasanya belum terwujud pada kalangan terdidik. Mereka belum memiliki wawasan integral dan holistik tentang sistem Islam. Ini bisa dimaklumi dari kenyataan bahwa mereka belum mendapatkan pembinaan intensif seputar sistem Islam, disamping belum mengakses literatur-literatur yang terkait dengannya. Kondisi lack of knowledge inilah yang membuat mereka mudah terjebak pada vonis dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam sebagai ide bombastis, hyperbolic dan logical jumping.

Maka dari itu duta Islam harus selalu sadar tentang kondisi ini. Sadar bahwa lack of knowledge menyebabkan terjadinya kesenjangan semangat dan dapat menjadi kendala dalam komunikasi. Perlu kesabaran dan trick cerdas dalam melakukan dialog. Pastikan dalam setiap memaparkan suatu sistem Islam terlebih dahulu diberikan prior knowledge yang cukup agar dapat memahami gagasan yang disampaikan. Kesalahan yang sering terjadi adalah para duta Islam terlalu semangat dengan penjelasannya dan lupa kalo orang yang diajak dialog belum terbina dengan wawasan Islam yang bersifat sistemik. Kegagalan menyadari kadar pengetahuan mereka tentang sistem Islam akan berbuah penolakan atau penerimaan setengah-setengah. Ingat prinsip ”first to understand, and then to be understood” , pahami dulu (mereka), baru kemudian anda akan dipahami. Prinsip ini harus dipakai ketika berdialog dalam menyampaikan Islam.

Menyadari bahwa kurangnya prior knowledge tidak berarti memvonis mereka sebagai orang-orang yang kurang wawasan. Jangan salah paham! Mereka adalah orang-orang terdidik dengan kadar intelektualitas yang sangat baik dan berwawasan luas. Bahkan, wawasan mereka bisa jadi jauh lebih bermutu ketimbang wawasan para duta Islam, terutama seputar bidang keahliannya. Persoalannya hanya pada rumus alam bahwa isi pesan dapat dipahami secara sempurna setelah cukup informasi atau pengetahuan agar pesan itu bisa ditangkap seperti yang diinginkan. Itu saja. Bila mereka sebelumnya tidak dibina dengan sistem-sistem Islam, maka jangan berharap mereka bisa memahami dengan baik dan mudah tentang Islam sebagai satu-satunya problem solver. Islam mampu menyelesaikan secara tuntas terhadap persoalan riiil di tengah masyarakat butuh pembelajaran tentang sistem-sistem Islam. Seorang profesor nuklir masih perlu belajar dasar ilmu fisiologi tentang sistem kardiovaskular untuk bisa memahami mekanisme kerja jantung dan sistem pembuluh darah di dalam tubuh.



Kendala komunikasi kedua: ketidaktahuan tentang konsep (fiqrah) dan metode (thariqah)

Kendala kedua adalah ketika kalangan terdidik belum menyadari sepenuhnya bahwa upaya menegakkan sistem khilafah dilakukan dengan suatu metode yang menjamin terwujudnya cita-cita. Gerakan Islam untuk memperjuangkan ini adalah gerakan dakwah ideologis yang mengemban konsep(fikrah) sekaligus memiliki kelengkapan metode (thariqah) untuk mewujudkan konsep tersebut. Ketidaktahuan akan adanya metode ini akan berbuah sikap pesimis, antipati dan kadang frustasi. Kejelasan metode menjadi sangat penting apalagi untuk sebuah cita-cita atau perubahan besar. Sebuah cita-cita yang tinggi (future condition) biasanya jauh berbeda dengan realitas saat ini (current condition). Jauhnya cita-cita dan realitas menggoda siapa saja untuk bersikap pesimis. Apalagi kalo ia terlalu terpaku pada realitas sekarang (current conditions centric). Coba bayangkan, apa yang akan dikatakan dan dirasakan oleh seorang pengemis bila anda mengatakan kepadanya bahwa suatu saat ia menjadi seorang konglomerat? Beginilah kira-kira yang dirasakan oleh kalangan terdidik tentang janji khilafah tegak dan janji tentang kecanggihan sistem Islam dalam menyelesaikan problem komplikasi umat. Persoalannya hanya terletak pada tuntutan akan kejelasan metode mewujudkan konsep (cita-cita) tersebut.

Yang bisa meyakinkan mereka bahwa cita-cita besar bisa diraih adalah adanya kejelasan metode, sekaligus strategi, yang menjamin realisasinya. Sebelum itu ada maka cita-cita hanya akan terkesan sebagai angan dan impian yang manis untuk dibayangkan. Misalkan tentang keniscayaan kembalinya khilafah. Bagi sebagian mereka cita-cita tegaknya khilafah adalah out of mind, karena adanya Khilafah berarti perubahan fenomenal dan besar di level global. Sebuah perubahan eskalatif pada kondisi sosial, politik, hukum, budaya, hubungan antar negara dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Ini adalah cita-cita tinggi yang berbeda dengan realitas sekarang. Walhasil, bila duta Islam lupa atau tidak bisa meyakinkan mereka tentang keberadaan metode yang canggih (sophisicated method), maka jangan berharap mereka akan menerima, mengapresiasi dan mendukung perjuangan ini.

Kalaulah kemudian ada kalangan terdidik yang setuju dan menerima bahwa khilafah suatu saat akan kembali karena alasan syara’, mereka akan tetap kesulitan membayangkan bagaimana cara kemunculannya. Bila mereka gagal memahami bagaimana metode merwujudkannya, jangan berharap mereka bisa menerima secara legowo tentang proyek masa depan ini. Para duta Islam harus bisa meyakinkan mereka bahwa dakwah dilengkapi dengan metode yang jelas, syar’i dan rasional untuk mewujudkan cita-citanya. Bila tidak maka mereka akan berkesimpulan bahwa khilafah membutuhkan waktu yang sangat lama (unlimited time). Implikasinya, mereka akan berpandangan lebih baik melakukan hal-hal yang ‘realistis’ dan sekarang ’dibutuhkan’ oleh umat. Dengan tidak mengurangi apresiasi terhadap ikhtiar perjuangan yang mereka pilih dan InsyaAllah mendapat pahala dari Allah swt, kita dengan sangat terpaksa mengatakan bahwa mereka akan mudah terjebak pada jenis perjuangan yang tidak relevan, bersifat reaktif, temporer dan berubah-ubah orientasinya sesuai dengan berubahnya realitas. Dalam bahasa manajemenya, kaburnya visi dan atau strategi menyebabkan execution yang tidak relevan.

Perlu digarisbawahi di sini, seorang duta Islam tidak cukup hanya mengatakan bahwa khilafah merupakan kewajiban umat Islam. Tidak cukup hanya dengan menjelaskan kehebatan dan ketangkasan sistem Islam dalam menyelesaikan problem manusia.. Juga tidak cukup hanya dengan ’mendongeng’ tentang kenangan manis daulah Islam dalam mengatur dunia. Singkatnya, tidak cukup sekedar memaparkan konsep dengan argumen syarí, historis dan tuntutan kekinian. Namun perlu dicatat di sini, mereka harus diyakinkan dengan keberadaan sebuah metode untuk meraih konsep-konsep tersebut. Untuk apa impian indah, kalo tidak tau cara mendapatkannya ?

Para duta Islam harus bisa menjelaskan tentang metode dakwah ini dengan sejelas-jelasnya, dimulai dengan argumentasi syara’, penjelasan yang logis dan rasional, serta visualisasi yang jelas dan jernih. Ini dilakukan agar mereka bisa melihat cara dan jalan keluar (wayout) dari realitas sekarang menuju cita-cita yang diharapkan. Sekali lagi, pastikan mereka memahami bahwa gerakan Islam tidak sekedar berbicara tentang konsep yang melangit, namun juga dilengkapi dengan metode canggih yang menjamin tercapainya perwujudan konsep tersebut. Bila Khilafah adalah sebuah konsep hebat -yang juga merupakan kewajiban syar’i, terbukti secara historis, dijamin berhasil oleh nash, dan sekarang masih menjadi cita-cita- maka dakwah adalah proses rekayasa sosial ideologis yang canggih untuk merealisasikannya. Dua hal ini harus tersampaikan kepada mereka dengan jelas tanpa samar: konsep yang jelas dan metode yang relevan dengan kondisi riil kehidupan .



Kendala komunikasi ketiga: campur aduk pembahasan konsep (fiqrah) dan metode (thariqah)

Kegagalan komunikasi juga bisa disebabkan ketika pembahasan antara konsep dan metodenya tidak dipisahkan. Pencampuradukan ini disamping membuat mereka sulit menangkap bahwa gerakan dakwah memiliki metode yang jelas, juga membuat mereka berat untuk memahami dan keluar dari realitas kekinian. Manusia pada dasarnya lebih mudah menangkap realitas yang dihadapi daripada memahami masa depan yang terlampau jauh dari realitas. Untuk itulah, ketika berdiskusi tentang khilafah dan sistemnya, berarti bicara tentang masa depan yang akan diwujudkan. Jangan lupa khilafah memiliki alasan syar’i, landasan historis dan tuntutan kekinian. Tentu ini saja sudah membutuhkan perhatian, konsentrasi dan diskusi yang panjang lebar sampai pada pemahaman yang memuaskan.

Setelah mereka memahami wujudnya Khilafah adalah keniscayaan, dilihat dari tinjauan syar’i, landasan historis dan tuntutan kekinian, baru kemudian mereka sangat perlu mengetahui metode mewujudkannya. Untuk mewujudkannya berarti bicara tentang konsep perubahan sosial ideologis berdasarkan Islam, yaitu dakwah yang sesuai dengan syara’. Konsep social engineering ideologis inipun memerlukan pembahasan yang cukup berat, dilihat dari aspek syara’, historis dan juga rasional.

Pencampuradukan pembahasan akan membuat frustasi. Tujuan agar kalangan terdidik tergerak untuk mendukung dan masuk dalam barisan dakwah tidak akan berhasil dengan pembahasan yang campuraduk dan tidak jelas. Harus dipisah antara pembahasan konsep dan metode. Dipisah ini bukan dalam pengertian waktu, hari, jam dsb. Namun, pemisahan ini dalam rangka memberi kerangka berpikir ideologis bahwa konsep dan metode adalah dua hal berbeda yang perlu dipahami. Jadi para pengemban dakwah harus jeli dan bisa memastikan bahwa diskusi yang dilakukan jelas pembahasannya, apakah tentang konsep ataukah tentang metode. Apakah tentang khilafah dengan sistem-sistemnya ataukah tentang dakwah sebagai metode untuk mewujudkannya. Diskusi harus berada pada track yang sama.

Sebagai catatan terakhir untuk kendala kedua dan ketiga ini. para duta Islam dituntut untuk memahami dan berempati dengan kondisi kalangan terdidik yang masih sulit menerima seruan karena faktor ketidakjelasan konsep dan metode. Toh, kenyataan para duta Islam bisa begitu optimis dan yakin dengan perjuangan pengembalian khilafah dan syariat, disamping karena pembinaan iman, juga karena telah mengkaji beberapa kitab yang terkait dengan metode dakwah seperti Takattul li Hizb, Dukhul Mujtama’dan lain-lain. Jadi wajar pemahaman dan pengetahuan yang banyak tentang dakwah, sebagai proses rekayasa sosial ideologis, akan memudahkan kita memahami keniscayaan berdirinya khilafah. Hal ini tidak terjadi pada sebagian besar para kalangan terdidik. Sehingga dibutuhkan kesabaran, pantang menyerah dan selalu mencari strategi efektif untuk menjelaskan metode perjuangan menegakkan khilafah. Penting untuk meluangkan waktu mendoakan mereka agar mudah diberi kepahaman oleh Allah swt.



Kendala komunikasi keempat: terpengaruh pola pikir barat

Kendala keempat yang biasa terjadi adalah bila kaum terdidik sudah terpengaruh atau memakai pola pikir barat dalam menyelesaikan problem kehidupan. Harus diakui, barat saat ini telah berhasil mendominasi tidak hanya secara politik, ekonomi, militer, hukum, budaya namun juga bidang pemikiran. Serangan pemikiran (al-ghazwu’l fikri) atau perang pemikiran (al-harbul fikri) ini dilakukan barat kepada Islam sejak sebelum runtuhnya Khilafah Turki Utsmani sampai sekarang. Tujuannya adalah agar ideologi kapitalis dipeluk oleh kaum muslimin. Bila ini terjadi maka umat akan menerima tsaqofah Barat sebagai kebenaran dan dijadikan solusi atas segala problem kehidupan. Barat akan dijadikan rujukan dan meminjam istilah Amin Rais, umat akan mengalami westomania, penyakit kejiwaan yang menganggap Barat segala-galanya.

Harus dicatat pula Barat sangat serius dengan agenda brain washing ini di negeri-negeri Islam, terutama untuk kalangan terdidik. Barat tidak ragu mengeluarkan dana milyaran dolar melalui berbagai corporate dan fondation yang dimilikinya dan beroperasi di negeri-negeri Islam. Mereka membiayai proyek-proyek penelitian; beasiswa untuk sekolah di luar negeri pada bidang-bidang sosial-politik-ekonomi-budaya-humaniora-agama dan pemikiran; membiayai perubahan kurikulum di perguruan tinggi, pesantren bahkan sekolah dasar; membiayai berbagai produk rancangan undang-undang; mendanai banyak sekali LSM-LSM komprador; masuk dalam bisnis media; dan banyak lagi lainnya. Walhasil, dengan agresifnya proses westoxication (peracunan barat) membuat proses adopsi terhadap pemikiran dan pola pikir barat sudah menjadi gejala umum, terutama pada kalangan terdidik. Perlu digarisbawahi di sini, dengan kerangka pikir (frame of reference) yang sudah terbangun dari ideologi kapitalis barat ini menjadikan mereka sulit untuk ’think outside the box’.

Konsep-konsep Islam akan mudah tertolak karena bertentangan dengan sistem kepercayaan (mafahim, miqyas, dan qanaah) yang telah mereka miliki berdasar ideologi kapitalis. Ini adalah perkara alamiah yang harus disadari. Para duta Islam harus memiliki kesadaran penuh dan tidak reaktif dalam menjelaskan dan merespon sikap mereka. Duta Islam juga harus bisa memahami physiological mechanism pada setiap tahap komunikasi yang terjadi ketika berdialog. Tahapan komunikasi yang umum seperti berikut ini harus dicermati:

1. pesan tentang khilafah atau sistem Islam diterima;

2. pesan disaring dan diberi makna berdasarkan nilai, kepercayaan, dan latar belakang yang mereka miliki, ini adalah tahapan untuk membangun mafhum.

3. pesan akan dievaluasi berdasarkan konsep yang mereka yakini (miqyas);

4. emosi akan ditambahkan karena mereka telah memiliki qanaah tertentu;

5. reaksi akan diberikan atas pesan yang disampaikan.

Harus diingat bahwa mafhum, miqyas dan qanaah yang mereka miliki dibangun dari cara berpikir Barat. Wajar bila kemudian setiap gagasan Islam akan mudah tertolak. Namun, yang penting anda bisa menangkap secara utuh tahapan berpikir dan kondisi psikologisnya tatkala berkomunikasi. Ini penting agar anda bisa mencari momen yang tepat untuk masuk dengan argumen yang cerdas, kuat dan memuaskan, sehingga Insya Allah anda bisa memahamkan, mempengaruhi serta merubah cara berpikirnya.

Usahakan dialog dilakukan secara intensif, dan desain sebuah pola komunikasi egaliter yang masing-masing bisa menyampaikan gagasannya. Pola dialog ini membuat kedua belah pihak bisa menjelaskan konsep dan metode masing-masing secara jelas. Sehingga, dengan persiapan yang sangat matang, para duta Islam dapat menunjukkan secara jelas tentang cita-cita (konsep) dan cara mewujudkannya (metode) untuk realitas sekarang ini (konteks). Dengan pola seperti ini, kalangan terdidik akan mendapat kesempatan untuk melihat, mendengar dan merasakan the beauty of Islam dan cara mewujudkannya. Disamping itu, nanti akan terlihat bahwa penyelesaian selain dengan Islam tidak akan bisa merubah secara signifikan problem yang dihadapi. Pola dialog seperti ini dapat diilustrasikan seperti dua orang yang sedang menunjukkan pohon yang ditanam secara berdampingan. Yang satu dibangun dari akar aqidah Islam, batang-daun adalah syariat, buah adalah manfaat dunia-akhirat yang diraih. Sementara pohon satunya akarnya adalah aqidah campuran atau bahkan sekulerisme, batang-daun adalah sistem sekuler, dan buahnya adalah mafsadat dan sumber problem kehidupan.

Pola saling melihat ini penting agar mereka bisa mendengar dan melihat secara utuh idealisme yang ingin ditransfer dan dipahami. Perlu disadari dialog seperti ini bisa jadi tidak selesai dalam waktu singkat. Namun, harus disadari bahwa kesempatan untuk melihat idealnya sistem Islam adalah fase penting bagi mereka agar dapat menangkap hidayah secara utuh, tanpa terhalang oleh perkara teknis dan emosional yang tidak perlu. Untuk itu pola dialog seperti ini dibutuhkan kematangan konsep, kepercayaan diri, wawasan luas, kecerdasan komunikasi dan persiapan yang serius.



Catatan Terakhir

Dua aspek penting untuk mulusnya persuasi dalam dialog adalah kesan yang harus ditangkap oleh kalangan intelektual. Kesan di sini bukan dalam pengertian dibuat-buat, namun harus secara jujur terekspresi dalam dialog. Kesan pertama adalah dakwah ini merupakan buah atau konsekwensi iman dan kesan kedua adalah para duta Islam merupakan orang yang cerdas, berwawasan, intelek dan terbuka.

Dakwah sebagai buah dari iman dapat dilakukan pertama dengan adanya kesadaran para duta Islam bahwa tugas ini semata-mata karena Allah swt, bukan karena semangat golongan, bukan pula untuk menjajal pengetahuan atau kepuasan intelektual. Kedua, tidak ragu untuk menyitir nash Qurán atau hadits yang relevan dan dengan kadar yang proporsional dalam berargumentasi.

Adapun kesan kedua dapat dimunculkan pertama dengan selalu mengikuti perkembangan baik di level lokal, nasional dan juga internasional.Para duta Islam memahami dengan baik fakta-fakta yang berkembang. Kemudian duta Islam harus banyak belajar seputar ide atau konsep-konsep yang ada, dari Barat atau Timur, terutama sekali konsep yang dipahami oleh para kalangan terdidik. Ini penting agar para duta Islam bisa melakukan dua hal. Yang pertama mampu mendekatkan wawasan yang dimiliki pakar dengan ide-ide Islam. Mendekatkan di sini agar terlihat secara rasional bahwa Islam itu hakekatnya ’hidup’ dan mampu menyelesaikan kondisi riil. Yang kedua para duta Islam akan terampil melakukan intifa’ terhadap tsaqofah Barat. Intifa’ di sini adalah proses pemanfaatan apa yang boleh dimanfaatkan sebagai media pengargumentasian dalam rangka mempertahankan Islam.

Mengingat dakwah pada kalangan terdidik merupakan aktifitas strategis untuk mendapat dukungan terhadap dakwah, maka persiapan serius adalah kuncinya. Hasil memang bukan kekuasaan kita, namun yang bisa dilakukan adalah melaksanakan perintah Allah swt dengan serius dan amanah. Insya Allah dengan ikhtiar sungguh-sungguh dan dilandasi keikhlasan untuk menunaikan amanah dari Allah swt, keberhasilan meraih dukungan para intelektual akan beroleh hasil. Semoga Allah swt memudahkan urusan ini. Wallahu álam.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook