Sponsored Ads

Kembali Pada Fitrah, Kembali Pada Syariah dan Khilafah


Ketika manusia dilahirkan oleh ibunya, ia tidak terlumuri oleh dosa. Akan tetapi, ia lahir di atas fitrah, sebagaimana sabda Nabi saw., “Kullu mawlud[in] yuladu ‘ala al-fithrah” (Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah).
Orang yang menunaikan shaum dengan benar selama bulan ramadhan akan terlahir kembali layaknya bayi yang tidak berdosa, kembali suci. Hal ini dikarenakan Allah Swt. mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu; ia keluar dari dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.


Allah Swt. berfirman:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS. Ar-Rum:30).


Menurut Ibn Atsir, fitrah itu antara lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi manusia yang siap untuk menerima Agama. Oleh karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar dan tanpa beban. Seandainya setan jin dan setan manusia ditiadakan, niscaya manusia hanya akan memilih kebenaran itu (Al-Faiq, III/128).

Kembali pada fitrah tidak lain adalah dengan menjalankan perintah Allah, yakni dengan menetapi karakteristik penciptaan manusia dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap setiap saat untuk menerima kebenaran.

Puasa ramadhan dan rangkaian aktivitas di bulan ramadhan selayaknya dapat melatih kita untuk menyadari dan memahami fitrah kita, karna ramadhan telah menjadi riyadhah badaniyah sekaligus riyadhah bathiniyah yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan dan memahami fitrahnya sebagai makhluk diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Maka dengan begitu, ia akan lebih merasa membutuhkan penciptanya, membutuhkan petunjuk dari-Nya.

Fitrah manusia diantaranya adalah fitrahuntuk beragama/mengagungkan sesuatu yang dianggap memiliki kelebihan darinya (Ghorizah Tadayyun). Fitrah ini mengharuskan manusia hanya menerima Agama, Ideologi, dan Sistem hidup yang sesuai dengan dengannya dan menolak serta membuang Agama, Ideologi dan Sistem hidup yang tidak sesuai dan bertentangan dengan fitrah. Dengan fitrahnya ini, manusia akan terdorong untuk mencari Agama, Ideologi dan Sistem hidup yang sesuai dengan fitrahnya.

Selain itu, manusia juga dianugerahi fitrah untuk melestarikan jenis (Ghorizah Nau’) dan fitrah untuk mempertahankan diri (Ghorizah Baqa’), kebutuhan jasmani (Hajatul Udhawiyah) dan akal. Kesemua fitrah itu menuntut sebuah pemenuhan dan dalam pemenuhannya pasti mengharuskan adanya aturan. Aturan ini tidak mungkin lahir dari manusia itu sendiri sebagaimana yang terjadi saat ini, disaat pongahnya manusia membuat hukum/aturan sendiri. Aturan itu selayaknya lahir dari Pencipta manusia, yang tau segala sesuatu hal tentang manusia.

Faktanya, di dunia ini hanya Islamlah Agama sekaligus Ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah Agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw., melalui malaikat Jibril. Islam lahir sebagai Agama dengan sepaket aturan yang membahas aspek spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam hal aqidah dan ibadah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam hal pakaian, makanan dan akhlak, juga mengatur hubungan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam hal muamalah dan uqubat (sanksi).

Agama-agama selain Islam yang notabene hanya mengatur aspek spiritual saja jelas tidak sesuai dengan fitrah manusia, fitrah tidak bisa menerima agama yang bersifat demikian.

Di sisi lain, ideologi selain Islam, yakni Sosialisme dan Kapitalisme juga tidak bisa diterima oleh fitrah.. sosialisme menafikan adanya al-Khaliq(Pencipta). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Sama halnya dengan Kapitalisme, meskipun mengakui adanya Tuhan sebagai sang pencipta, Kapitalisme menafikan peran Tuhan dalam masalah dunia. Inipun jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang keberadaannya serba lemah dan terbatas, kadang menganggap yang baik itu buruk dan yang buruk itu baik. Sehingga memerlukan aturan dari Tuhan untuk semua aspek kehidupan.

Allah Swt., berfirman:
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS al-Baqarah:216)

Hanya Islamlah, Agama sekaligus Ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia. Fitrah hanya bisa menerima aturan yang sesuai dengannya. Oleh karena itu, kembali pada fitrah mengharuskan kita hanya menerima Islam dan menolak semua Agama dan ideologi selain islam. Sebab, hanya Islam Agama yang sesuai dengan fitrah dan merupakan Agama yang benar.

Allah Swt., berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (TQS. Ali Imran:19).

Oleh karena itu, kembali pada fitrah nyatanya adalah kembali kepada Islam sebagai Agama sekaligus Ideologi yang melahirkan sebuah sistem kehidupan. Itu artinya, kita harus kembali kepada Aqidah islam yang lurus dan Syariah Islam yang merupakan pancaran dari Aqidah Islam itu sendiri. Penerapan Syariah atau Sistem Islam tidak dapat terwujud secara kaffah (menyeluruh) tanpa adanya institusi yang menerapkan dan melaksanakannya. Institusi itu tak lain adalah Khilafah Islam, bukan yang lain. Institusi yang harus kita perjuangkan agar kembali ditegakkan di bumi ini, hingga Islam dapat kembali menjadi Rahmatan lil Aalaamin.

Sabda Nabi Saw.:
“..Kemudian akan muncul kembali masa Kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian..” (HR. Ahmad).

Firman Allah Swt.:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-Nur:55).

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

MENJAGA PERSATUAN DAN KESATUAN WILAYAH ISLAM HARGA MATI


Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman
...Islam mewajiban kaum Muslim untuk bersatu sebagai satu umat. Allah SWT berfirman, "Inna hadzihi ummatukum ummat[an] wahidat[an] wa ana Rabbukum fa'buduni" (Sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku) (TQS al-Anbiya' [21]: 92). Dengan redaksi yang agak ber¬beda, khithab (seruan) yang sama juga dinyatakan oleh Allah dalam QS Al Mu'minun [23]: 52. Karena itu, meski mempunyai latar belakang etnis, bangsa dan bahasa yang berbeda, umat Islam adalah umat yang satu. Karena mereka mempunyai Tuhan yang sama (Allah); kitab suci yang sama (Alquran); Nabi yang sama (Muhammad); kiblat yang sama (Ka'bah); agama yang sama (Islam), bahkan negara yang sama (Khilafah).

Islam bukan hanya menetapkan umatnya sebagai satu umat dan mewajibkan mereka untuk bersatu di bawah naungan satu kepemimpinan, yaitu Khila¬fah, sebagaimana sabda Nabi, "Falzim, jama'ata al-muslimin wa imamahum." (Berpegang teguhlah pada jamaah kaum Muslim dan imam/khalifah mereka) (HR Ibn Majjah). Pada saat yang sama, Islam juga memerintahkan agar siapa saja yang memecah belah persatuan kaum Muslim harus dibunuh.

Ini ditegaskan oleh Nabi, "Man baya'a imam[an] fathahu shafqata yadihi wa tsamrata qalbihi falyuthi'hu in istathaa fain ja'a akhar yunazi'uhu fadhribu 'unuqa al-akhira" (Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/ khalifah, kemudian memberikan uluran tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia menaatinya sebatas kemampuannya. Jika ada orang lain merebutnya, maka bunuhlah yang terakhir) (HRMuslim).

Tidak hanya itu, Islam juga menetapkan bahwa mati untuk membela harta, termasuk wilayah kaum Muslim adalah mati syahid. Ini dinyatakan dalam hadits Nabi, "Man qutila duna malihi fahuwa syahid "(Siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia mati syahid) (HR Muslim, Ibn Hibban, Ahmad).

Dalam pandangan Islam, harta kekayaan pribadi, umum maupun negara, merupakan harta kaum Muslim. Termasuk wilayah negeri-negeri Islam, semuanya merupakan harta kaum Muslim. Karena itu, mempertahankan harta tersebut, termasuk keutuhannya agar tidak pecah, dan dicaplok pihak lain, hukumnya wajib. Mati karenanya pun dinyatakan oleh Islam sebagai mati syahid.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, bisa ditegaskan bahwa menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaurn Muslim hukumnya wajib. Karena itu, persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, dalam pandangan Islam, merupakan harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ini merupakan masalah ma'lum[un] min ad din bi ad dharurah (masalah agama yang penting). Karena itu, Sayyidina Umar pernah menyatakan, "La Islama illa bi al jamaah, wa la jama'at[an] illa bi al imarah, wa la imarata ilia bi at thaah." (Islam tidak akan tegak, kecuali dengan adanya jamaah, dan jamaah tidak akan ada, kecuali adanya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak akan ada, kecuali untuk ditaati) (Ibn 'Abdi Al Barr, Jami' Bayan al-‘Iim wa Fadhlati Ibn Abdi al-Barr). Artinya, jamaah sebagai representasi persatuan dan kesatuan itu mutlak dibutuhkan oleh Islam.

Selain Islam menetapkan kewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri kaum Muslim, Islam juga mengharamkan perpecahan dan memisahkan diri dari jamaah, atau kesatuan negeri tersebut. Tidak hanya itu, Islam juga memandang serius bentuk pelanggaran ini sehingga sanksinya pun tegas, yaitu dibunuh jika sendirian. Jika jumlah mereka yang melakukan pelanggaran tersebut banyak, maka sanksi bagi mereka adalah diperangi. Mereka disebut ahli alboghy (kaurn pembangkang) atau jamaknya, bughat (QS Al Hujurat [49]: 9). Meskipun mereka diperangi bukan untuk dihabisi tetapi untuk disadarkan dan diinsyafkan. Para fuqaha menyebut peperangan melawan mereka dengan istilah, qital ta'dib.

Dalam pandangan Islam, masalah separatisme atau upaya untuk memisahkan diri dari negeri-negeri kaum Muslim dianggap sebagai dosa besar jika dilakukan oleh kaum Muslim; dan tindakan krimininal yang serius, jika dilaku¬kan oleh orang-orang non-Muslim. Bahkan, bagi orang-orang non-Muslim yang melakukan tindakan tersebut, pertama-tama mereka bisa kehilangan dzimmah mereka sehingga bisa diusir dari negeri-negeri kaum Muslim sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap orang Yahudi Bani Qainuqa' yang diusir dari Madinah. Mereka juga wajib diperangi dan diusir, sebagaimana tindakan Nabi terhadap Yahudi Bani an-Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan kata lain, masalah sparatisme ini merupakan qadhiyah mashiriyyah, yang bisa diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati.

Meski demikian, Islam juga mengajarkan bahwa Selain masalah ini harus didudukkan sebagai qadhiyah mashiriyah, masalah ini tidak harus selalu didekati dengan pendekatan militer. Kalau pun harus ditempuh pendekatan militer, maka ini merupakan alternatif terakhir setelah upaya-upaya persuasi tidak berhasil.

Dengan kata lain, pendekatan yang pertama kali harus dilakukan adalah pendekatan politik. Dengan cara menjelaskan hukum larangan memisahkan diri atau melakukan aksi separatisme, khususnya kepada kaum Muslim, serta konsekuensi sanksi yang akan mereka hadapi jika tindakan tersebut mereka lakukan. Sedangkan kepada kaum non-Muslim, yang nota bene adalah ahli dzimmah, maka bisa dijelaskan konsekuensi yang akan mereka terima. Mulai dari hilangnya dzimmah, pengusiran hingga dip¬rangi.

Selain penjelasan tersebut, kepada mereka baik Muslim maupun non-Muslim—harus dibongkar rencana busuk di belakang gerakan separatisme, termasuk kepentingan kaum Kafir penjajah yang hendak menjajah mereka disertai dengan berbagai bukti dan sejarah. Kasus lepasnya wilayah Balkan dan Syam dari genggaman Khilafah Utsmaniyah, di masa lalu; lepasnya Timor Leste dari Indonesia; dan yang terbaru lepasnya Sudan Selatan dari Sudan adalah bukti-bukti nyata dimanfaatkannya jaringan kaum Kristen, khususnya misionaris, untuk menggalang aksi separatisme. Di balik semuanya itu, jelas ada kepentingan negara-negara Kafir penjajah untuk mengangkangi wilayah-wilayah tersebut.

Balkan dan Syam, setelah lepas dari Khilafah Ustmaniyah menjadi negara-negara kecil yang lemah. Demikian juga Timor Leste, setelah lepas dari Indonesia, juga menjadi negara kecil yang lemah. Hal yang sama juga dialami Sudan Selatan. Dengan kondisi seperti itu, maka sangat mudah bagi negara-negara kafir penjajah untuk menjajah negara-negara kecil tersebut dan mereka pun tidak mampu membebaskan diri dari penjajahan negara-negara kolonialis itu. Jika Papua, Ambon atau yang lain melakukan hal yang sama, maka nasib yang sama pun siap mengintai mereka.

Namun, ironisnya, belum apa-apa, Menhan, Purnomo Yusgiantoro, dengan tegas menyatakan agar tidak menggunakan pendekatan kepada kelompok OPM di Papua dengan pendekatan, "NKRI harga mati". Padahal, jargon "NKRI harga mati" selalu digunakan untuk menyerang perjuangan untuk menegakkan syariah. ini artinya, bahwa ada upaya sistematis untuk memfasilitasi gerakan separatisme dan membiarkannya berkembang. Maka, tidak lama setelah ini, Papua pun akan lepas dari pangkuan Indonesia. Para penguasa negeri Muslim ini pun harus siap-siap mempertanggungjawabkan kebijakan mereka di hadapan umat Islam, dan lebih dari itu, mereka telah mengkhianati Allah dan RasulNya.


________________________________________________________________

“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Jika ikhwan wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini, serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain.
sumber : http://www.facebook.com/SyariahKhilafah

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Indonesia Belum Merdeka...!!!


Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan. Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237 juta jiwa lebih ini (yang mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan terjajah!

Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, masyarakat menilai banyak aspek dan kondisi makin buruk saja pada saat ini. Misal, pada aspek keadilan hukum mereka menyatakan: 59,3% semakin buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik. Lalu pada aspek keadilan ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk, 15,1%: tetap, 21,1%: semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara, ternyata kesimpulannya: peran negara tidak memadai!

Lalu terkait kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang Indonesia belum merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum merdeka), politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%: menyatakan belum merdeka).

Pandangan dan penilaian masyarakat di atas rasanya cukup mewakili pandangan mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah yang merasakan langsung atau bahkan menjadi obyek penderita dari keterjajahan di berbagai bidang justru di era “kemerdekaan” saat ini. Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa?

Potret Nyata Keterjajahan

Dari data BPS yang dibacakan Presiden SBY (16/8), jumlah penduduk Indonesia 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Yang masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan ukuran pendapatan 2 dolar AS/hari.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009, mencapai 8,96 juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk pengangguran ‘tertutup’ ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan tarif dasar listrik baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah I juta orang karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota Jakarta saja, lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran.

Tak ketinggalan, APBN yang 70% sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai ratusan triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat relatif kecil.

Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para pemilik modal ketimbang rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang akhirnya di rampok juga) untuk Bank Century; sebaliknya begitu abai terhadap korban Lumpur Lapindo hingga hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus mengurangi subsidi untuk rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian, kesehatan, BBM dan listrik. Yang terbaru, saat banyak rakyat menjadi korban akibat “bom” tabung gas elpiji, Pemerintah justru berencana mencabut subsidi gas elpiji tabung 3 kg. Artinya, harga gas elpiji tabung 3 kg akan dinaikkan dengan alasan untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga dengan gas elpiji tabung 12 kg. Kesenjangan harga ini dituding sebagai faktor utama yang mendorong terjadinya banyak pengoplosan gas yang sering merusak katup tabung gas, dan pada akhirnya menimbulkan banyaknya kasus ledakan. Padahal jelas, kebijakan Pemerintah yang memaksa rakyat untuk mengkonversi penggunakan minyak tanah ke gas itulah yang menjadi akar masalahnya.

Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di atas, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika!

Akar Masalah

Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 66 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya. Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing. Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di negeri ini saat ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing.

Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.

Kemerdekaan Hakiki

Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Demokrasi Kapitalisme Sekular, ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum kolonial.

Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit” umum rakyat. Negara pun gagal membebaskan rakyatnya dari kebodohan. Rakyat juga masih belum aman. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat negeri ini. Bukan hanya tak aman dari sesama, rakyat pun tak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan dituduh sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas.

Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Demokrasi Kapitalisme-sekular dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.

Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah mabda yang sesuai dengan fitrah manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Wallahu a’lam bi ash-shawab.
sumber : http://www.facebook.com/pages/250-Juta-Dukungan-Untuk-Ganti-Kapitalisme-SosialismeKomunisme-dgn-ISLAM/130268727340

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Jadwal Pendadaran Skripsi Periode Agustus

Bagi temen TI STMIK El Rahma yang membutuhkan jadwal pendadaran skripsi. Berikut ane lampirkan file jadwal pendadaran periode Agustus 2011, Semoga bermanfaat
.:Download:.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Perkara-perkara yang Membinasakan.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan." Para Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara itu?" Beliau berkata, "Menye¬kutukan Allah; sihir; membunuh jiwa yang telah Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama; memakan riba; memakan harta anak yatim; lari dari peperangan; menuduh wanita baik-baik berzina."(HR Bukhari dan Muslim).

Dalam Kitab Fath Al Majid Syarh Kitab At Tawhid, dijelaskan bahwa disebut membinasakan karena bisa membinasakan pelakunya di dunia dengan cara dihukum dan di akhirat dengan diasab.

Pertama: menyekutukan Allah (syirik). Syirik termasuk dosa besar. Begitu besarnya, dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah SWT jika pelakunya tidak benar-¬benar bertobat. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa saja yang mempersekutukan Allah, sungguh ia telah berbuat dosa besar” (TQS an-Nisa' 4:48).

Dalam hadits ini pun, dosa besar yang pertama kali disebutkan oleh Rasulullah adalah syirik, karena syirik adalah sikap durhaka kepada Allah yang paling besar. Dalam hal ini, Ibnu Masud ra. pernah bertanya kepada Baginda Rasulullah SAW, Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?" Rasul SAW menjawab, “Jika engkau menyekutu¬kan Allah, padahal Dia adalah yang menciptakan kamu." (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua: Sihir. Sihir adalah ucapan atau tindakan yang biasanya menggunakan jampi-jampi (mantra) atau ajimat yang ditujukan kepada seseorang dengan tujuan untuk menyakiti bahkan menghilangkan nyawa orang tersebut. Ada juga sihir yang dapat menyebabkan muncul ikatan yang sangat kuat (seperti pelet, gendam, pengasihan, dll) atau sebaliknya, yang menyebabkan berpalingnya seseorang dari orang yang lain. Abu Muhammad Al Maqdisi berkata dalam kitab Al-Kati, "Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi dan buhul-buhul yang dapat berpengaruh pada hati dan badan. Sihir itu dapat menjadi sebab menyakiti, menghilangkan nyawa dan memisahkan suami dengan istrinya."

Dalam hal ini Allah SWT berfirman (yang artinya): Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya (TQS Al Baqarah [2]:102).

Rasulullah SAW pernah terkena sihir. Aisyah ra. menuturkan bahwa Nabi SAW pernah terkena sihir sehingga sihir itu membuatnya seakan-akan melakukan sesuatu padahal beliau tidak rnelakukannya (HR Bukhari).

Sihir juga termasuk dosa besar. Di antara sihir tersebut ada yang sampai pada (tingkat) kekufuran jika pelakunya menyampaikan sihirnya melalui bantuan jin/setan. Karena itu, tukang sihir bisa dihukum mati, sebagaimana sabda Nabi saw., "Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal (hukuman mati) ."(HR Tirmidzi).

Dalam Shahih Bukhari juga disebutkan riwayat Bajalah bin Abdah yang bertutur, "Umar bin Khaththab telah menetapkan perintah yaitu: bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan."

Ketiga: Membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh. Ada empat golongan yang haram untuk dibunuh: Muslim; kafir dzimmi (non-Muslim warga Negara Khilafah); kafir mu'ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah); dan kafir musta'man (non-Muslim) yang menadapatkan suaka dari Negara Khilafah). Mereka haram dibunuh kecuali karena sebab/alasan yang syar'i.

Keempat: Memakan riba. Allah SWT tegas berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila (TQS Al Baqarah [2]: 275); Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278); Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangi kalian (TQS Al Baqarah [2]:279).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Allah men¬jelaskan apabila seseorang tidak meninggalkan riba maka berarti dia telah menyatakan siap diperangi Allah SWT dan Rasul-Nya."

Kelima: Memakan harta anak yatim. Maknanya adalah memanfaatkan harta mereka secara tidak sah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim itu kelak akan menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (TQS An Nisa' [4]: 10).

Keenam: Lari dari medan perang (jihad). Maknanya adalah mundur dari melawan orang-orang kafir pada saat peperangan/jihad (sedang) berkecamuk, kecuali dengan tujuan yang dibenarkan (misal sekadar siasat perang) (Lihat:TQS al-Anfal [8]:15-16).

Ketujuh: Melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita Mukminah yang selalu menjaga kehormatannya.

Kita berlindung kepada Allah SWT dari perkara-perkara yang membinasakan tersebut. Wa ma tawfiqi illa billah.
(Ust. Arif B Iskandar)
______________________________​______________________________​____

sumber : http://www.facebook.com/Syaria​hKhilafah

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

PENDIDIKAN GRATIS DAN BERMUTU DALAM ISLAM


Oleh: Hafidz Abdurrahman

Islam bukan hanya memandang pendidikan sebagai perkara penting, tetapi Islam telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat, bersama kesehatan dan keamanan. Karena itu, Islam bukan hanya menjamin terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan tetapi Islam juga mewajibkan setiap warga negara untuk menuntut ilmu, dan mewajibkan negara untuk memberikan layanan nomor satu kepada rakyatnya dalam bidang pendidikan.

Nabi bersabda, "Tuntutlah ilmu meski sampai ke Cina. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu bagi setiap orang Muslim." (Al Khathib Al Baghdadi, ArRihlah fi Thalab Al Hadits; As Suyuthi, Jami' Al Masanid wa Al Marasil, Juz 1/463). Artinya, mengutip penjelasan Al 'Allamah Al Manawi, betapapun jauhnya tempat ilrnu itu berada, maka kita diperintahkan untuk mencarinya. Sebab, mencari ilmu hukumnya adalah fardhu (Al Manawi, Faidh Al Qadir, Juz 1/543). Dari sini, bisa disimpulkan bahwa kewajiban menuntut ilrnu tidak mengenal batas teritorial. Selain tidak mengenal batas teritorial, menuntut ilmu juga tidak mengenal batas waktu, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi kepada para sahabat. Mereka menuntut ilmu hingga wafat.

Menuntut ilmu merupakan kewajiban, di mana pendidikan merupakan proses ilmu tersebut ditransformasikan kepada masyarakat, maka kebutuhan akan pendidikan merupakan keniscayaan. Karena itu, negara wajib menjamin tersedianya layanan pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Ini ditunjukkan dengan kebijakan Nabi SAW ketika menjadi kepala negara, saat menjadikan kaum kafir Quraisy sebagai tawanan, maka tebusan pembebasan mereka adalah dengan mengajari kaum Muslim baca tulis (Ibn Hisyam, as-Siroh an-Nabawiyah, Juz I/).

Hak Dasar Rakyat dan Kewajiban Negara

Ilmu merupakan kunci dunia dan akhirat. Dengan ilmu, dunia dan akhirat bisa dikuasai. Generasi terbaik umat Islam ini telah menguasai dunia, sekaligus mendapatkan kebaikan akhirat, melalui penguasaan mereka akan ilmu. Ilmu ini mereka peroleh melalui proses edukasi. Menyadari kebutuhan mereka akan ilmu, para sahabat pun terus-menerus belajar tanpa mengenal usia. Al Bukhari meriwayatkan, bahwa para sahabat Rasulullah SAW terusmenerus belajar, meski di usia mereka yang sudah senja (AI Bukhari, Shohih Al Bukhari, Juz 1/26). Demikian pula bagi para sahabat yang masih belia, mereka juga tidak mau ketinggalan. Ali bin Abi Thalib, yang disebut oleh Nabi sebagai pintu kota ilmu (babu al-Madinah), dan Ibn Abbas yang disebut sebagai penafsir Alquran (turjuman al-Qur'an) sama-sama telah belajar sejak usia 7 atau 8 tahun. Sayyidina 'Ali menuturkan, "Belajar di waktu kecil
seperti memahat di atas batu." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/162).

Pada zaman Nabi SAW dan para Khulafa' Rasyidin setelahnya, masjid Nabawi telah dijadikan sebagai tempat belajar. Nabi membentuk halqah ilmu, demikian juga para sahabat. Al Imam Al Yusi, dalam kitabnya, Al Qanun, menuturkan bahwa model penyampaian ilmu seperti sekarang sebenarnya bersumber dari praktik Nabi yang dilakukan kepada para sahabat Baginda di majelis-majelis ilmu. Ketika itu, masjid menjadi pusat belajar-mengajar. Umar menuturkan, "Barangkali orang yang masuk masjid, bisa diumpamakan sebagai kuda yang berhamburan. Jika dia melihat majelis kaumnya dan melihat orang yang dia kenal, maka dia duduk bersamanya." (Al Kattani, At Taratib Al Idariyyah, Juz II/152). Hingga sekarang di Masjid Naba¬wi maupun Masjid Al Haram, hal¬qah ilmu ini masih berjalan.

Tidak hanya itu, menyadari akan kewajiban negara, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR Al Bukhari), maka negara Islam pun menyediakan infrastruktur pendidikan kelas satu untuk seluruh rakyatnya. Mulai dari sekolah, kampus, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga biaya pendidikan yang lebih dari memadai.

Pada zaman Abbasiyah, Al Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khilafah, menyatu dengan masjid. Di sana juga dibangun perpustakaan. Pendidikan tinggi pertama pada zaman itu adalah Bait Al Hikmah, yang didirikan oleh Al Ma'mun (830 M) di Baghdad. Selain berfungsi sebagai pusat penerjemahan, juga digunakan sebagai pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium (Philip K Hitti, History of the Arabs, 514-515). Setelah itu,
baru muncul Akademi Nidzamiyyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi yang kemudian dijadikan oleh Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka (Reuben Levy, A Baghdad Chronide, Cambridge: 1929,193).

Di Cordoba, Spanyol, pada zaman itu juga telah berkembang Le Mosquet yang asalnya merupakan gereja, kemudian dialihfungsikan sebagai masjid, lengkap dengan madrasah, dengan berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Lembaga pendidikan telah menelorkan ulama sekaliber Al Qurthubi, As Syathibi, dan lain-lain. Tidak hanya ahli tafsir dan usul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali At Thabari, Ar Razi, Al Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut Al Hamawi dan Al Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam Al Kalbi, Al Baladzuri, dan lain-lain. Mereka merupakan produk akademi pendidikan di era Khilafah.

Gratis dan Bermutu

Fakta sejarah di era keemasan Islam di atas rnembuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Khilafah telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan kelas satu seperti itu diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol.

Pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khilafah karena Khilafah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui skim pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain. Dengan cara yang sama, negara juga bisa membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara. Anak-anak orang kaya dan miskin, sama-sama bisa mengenyam pendidik¬an dengan kualitas yang sama.

Dengan filosofi, "Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya." (HR Al Bukhari), kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bi¬dang pendidikan ini benar-benar dipikul oleh negara. Jika kas negara tidak mencukupi, maka negara berhak mengambil pajak secukupnya dari kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan ini (Al 'Allamah Syaikh Taqiyuddn An Nabhani, Muqoddimatu Ad Dus¬tur, hal. 364-370).

Begitulah cara Islam, melalui institusi Khilafah, merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu. Wallahu a'lam.


______________________________​______________________________​____

sumber : http://www.facebook.com/Syaria​hKhilaf

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Utang Indonesia Mencapai Rp 1.900 Triliyun, Stop Biayai Pembangunan dari Utang..!


LSM Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak agar pemerintah tidak lagi mengandalkan dana yang berasal dari utang luar negeri sebagai salah satu sumber untuk membiayai pembangunan di dalam negeri.

"Semakin besar kita mengandalkan utang maka akan semakin besar bahaya yang bisa berdampak pada ekonomi nasional," kata Ketua LSM Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan di Jakarta, Jumat. Menurut dia, isu utang seharusnya saat ini menjadi "debat panas" di dalam DPR karena banyak hal yang harus diperhatikan terkait hal itu.

Ia mencontohkan, hal penting yang harus dicermati terkait dengan utang adalah sejauh mana jumlah cicilan pokok dan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar utang tersebut. Dani juga mengingatkan bahwa Indonesia juga harus belajar dari kekisruhan dalam penentuan pagu utang AS yang sempat menjadi perdebatan hangat baik di dalam tubuh pemerintah AS maupun kongres negara itu.

"Di AS terlihat isu utang menjadi krusial tetapi di Indonesia isu utang masih belum menjadi debat politik yang panas," katanya. Sebelumnya, Kepala Biro Humas Bank Indonesia Didi A Johansyah juga menilai, total utang luar negeri Indonesia baik pemerintah maupun swasta yang terus meningkat hingga kwartal I tahun ini patut terus dicermati.

"Meski ekonomi kita stabil dan fundamental ekonomi bagus, tetapi utang luar negeri harus terus dicermati dengan mengingatkan pelaku bisnis untuk mengelola utang luar negerinya secara berhati-hati," kata Didi di Jakarta akhir Juni lalu.

Jumlah utang luar negeri Indonesia sampai kwartal I 2011 mencapai 214,5 miliar dolar AS, meningkat 10 miliar dolar AS dibanding posisi akhir 2010. Jumlah tersebut terdiri atas utang Pemerintah sebesar 128,6 miliar dolar AS dan utang swasta 85,9 miliar dolar AS.

Sedangkan rasio utang dibanding PDB saat ini 28,2 persen lebih baik dibanding 1997/1998 sebesar 151,2 persen. Sementara rasio utang jangka pendek dibanding cadangan devisa saat ini 42,6 persen lebih baik dibanding posisi 1997/1998 sebesar 142,7 persen.

sumber : WWW.REPUBLIKA.CO.ID

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Bolehkah Sholat Tahajud Setelah Sholat Witir?


Apakah diperbolehkan bagi seseeorang yang sudah melaksanakan shalat tarawih & witir, tapi masih melakukan shalat tahajud ?

Itulah pertanyaan yang dilontarkan seorang temen ketika selsai melaksanakan sholat sunnat taraweh.

Terakit masalah ini, ada dua pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnah lagi sesukanya, namun shalat witirnya tidak perlu diulangi.

Pendapat ini adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, ‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

Kedua, dari Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketiga, dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ لْيَرْقُدْ …

“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, …” (HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari –sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.

Adapun dalil yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnah lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir kembali. Maksudnya di sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2 raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir kembali.

Inilah pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas. Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)

Pendapat yang Terkuat

Dari dua pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa alasan berikut.

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.

Kedua, pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.

1. Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.

2. Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.

Dengan dua alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.

Kesimpulan

Dari pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama, bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.

Kedua, diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 22/272).

Jika kita telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam. Padahal pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam hadits, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).

Ketiga, adapun hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).

Demikian pembahasan kami dalam rangka menjawab pertanyaan seputar shalat tarawih yang kami bahas.

Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Rujukan:

Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 386-395, Al Maktabah At Taufiqiyah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Tips Sukses Menjalani Ibadah di Bulan Ramadhan


Alhmadulillah kita telah memasuki bulan suci ramadhan, bulan yang 10 hari pertama dipenuhi dengan rahmat Allah, 10 hari kedua dipenuhi dengan magfirah Allah dan 10 hari terkahir dibebaskan dari apa neraka. Disamping itu ramadhan juga merupakan bulan yang didalamnya terdapat sua malam yg kulitasnya melebihi 1000 bulan. Ramadhan adalah bulan dimana semua pintu langit dibukadan magfira. Lalu bagaimana kiat-kiat kita agar sukses dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup, sementara syaitan dibelenggu. Di bulan ini juga amalan wajib dilipatgandakan menjadi 70 kali sedangkan amalan sunnah pahalanya sama dengan amalan wajib.

Begitu banyak keutamaan yang Allah berikan di bulan Ramadhan, sehingga sangat disayangkan apabila ramadhan hanya berlalu di hadapan kita tanpa diisi dengan aktivitas yang semakin mentaqorubkan diri kita dihadapan Allah SWT. Berikut Tips & triks yang dikutip dari tulisan KH. Hafidz Abdurahman. Kita berharap Ramadhan kali ini kita bisa menjalani dengan sukses sehingga semakin mendekatkan diri kita di hdapan Allah SWT. dan pada akhirnya derajat taqwa yang merupakan tujuan dari shaum kita di bulan Ramadhan bisa kita raih.

Pertama, selain menyadari kemuliaan bulan ini, dia harus menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak bebas dari dosa (ma’shum), Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan dan melipatgandakan amal shalih. Karena inilah bekal untuk menghadap Allah pada Hari Kiamat. Kesadaran ini harus tumbuh kokoh dalam diri kita, sebagai satu-satunya motivasi amal kita.

Kedua, untuk meraih semuanya tadi, setiap Muslim harus mempunyai program pribadi selama Ramadhan, antara lain:

1- Taubatan nashuha: Taubatan nashuha adalah taubat dengan melepaskan diri dari dosa, menyesalinya dan tidak mengulanginya kembali, diikuti dengan kesungguhan melakukan amal shalih yang dilandasi keimanan. Jika ada hak orang lain yang terkait dengan materi atau non-materi, maka harus segera dikembalikan, atau minta dihalalkan. Karena itu, taubat ini menjadi poin pertama, dan pondasi program-program berikutnya.

2- Menjaga pendengaran, lisan dan mata dari perkara yang diharamkan, baik di siang hari maupun di malam hari bulan Ramadhan.

3- Menjaga amalan-amalan sunah dan nafilah.

4- Menjaga shalat rawatib (5 waktu) berjamaah di masjid.

5- Berkeingan kuat untuk menjadi saksi adzan, iqamat, takbiratul ihram bersama imam, dan berdiri di baris terdepan.

6- Menjaga shalat Tarawih, shalat syaf’ (shalat 2-10 rakaat) sebelum witir, dan witir. Biasanya shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat, atau 10 rakaat, kemudian dilanjutkan malam harinya dengan 2-10 rakaat, kemudian ditutup dengan witir 1 rakaat, atau 2-8 rakaat, kemudian witir 3 rakaat.

7- Menjaga qiyamullail.

8- Membaca minimal 1 juz tiap hari.

9- Menghapal sebagian ayat al-Qur’an tiap hari.

10- Menghapal satu hadits atau lebih tiap hari.

11- Silaturrahmi kepada kerabat.

12- Bergaul dengan kaum Muslim dan mengetahui keadaan mereka.

13- Dzikir dan mengingat Allah serta mensucikannya setiap waktu, disertai menjaga dzikir waktu Subuh dan petang.

14- Berinfaq suka rela dengan memberi makan satu atau lebih orang yang berpuasa tiap hari, meski hanya dengan satu buah kurma.

15- Mengutamakan bersedekah kepada fakir miskin atau orang yang membutuhkan setiap hari, meski dengan kadar yang paling minim sekalipun.

16- Menjaga shalat Dhuha setiap hari.

17- Melakukan shalat dua rakaat setelah berwudhu’.

18- Menghadiri majlis ilmu.

19- Mempelajari minimal satu bab fiqih setiap hari.

20- Membaca ringkasan Sirah Nabi dan Akidah.

21- Berusaha mendamaikan atau menyelesaikan urusan orang yang bermasalah.

22- Berdoa saat berbuka sebagaimana doa yang diajarkan Nabi.

23- Dermawan dan membantu orang lain.

24- Berdakwah kepada Allah, amar makruf dan nahi munkar.

25- Menolong kaum Muslim yang berjihad di manapun.

26- Menyegerakan buka, dan mengakhirkan sahur.

27- Berbakti kepada kedua orang tua, baik yang masih ada, maupun telah tiada.

28- Melakukan i’tikaf pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan.

29- Melaksanakan umrah, karena umrah di bulan Ramadhan sama sekali haji bersama Rasulullah saw.

30- Menjaga pelaksanaan shalat Idul Fitri bersama kaum Muslim.

31- Berpuasa 6 hari bulan Syawal, atau Ayyam al-Bidh.

Ketiga, meski telah dibuat program, namun dalam praktiknya, kadang-kadang program tersebut, karena satu dan lain hal, tidak berjalan sesuai dengan rencana. Untuk itu diperlukan langkah berikutnya, yaitu kesungguhan dalam menjalankan program-program yang telah dibuat. Jika sudah ada kesungguhan, tetapi masih tidak bisa berjalan karena ada prioritas pekerjaan lain, maka bisa dibuat substitusi, yaitu program pengganti, agar nilai yang ingin diraih melalui amal yang tidak bisa dijalankan tersebut bisa digantikan dengan yang lain.

Keempat, menjadikan malam hari, sebagai malam muhasabah (evaluasi) dan takhthith (perencanaan). Yang dievaluasi adalah apa yang telah dikerjakan dan diperoleh selama sehari, dan apa yang bisa dan harus diraihnya besok. Ini dilakukan setelah melaksanakan shalat syaf’i dan witir. Dengan begitu, dia akan menatap agenda harinya esok dengan mantap dan jelas, tanpa ragu. Untuk memudahkan evaluasi dan perencanaan, bisa dibuat daftar pengecekan yang berisi poin-poin aktivitas di atas.

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Tarhib Ramadhan DPD1 HTI Daerah Istimewa Yogyakarta, “Ngayogyakarta Banget”


HTI Press. Jumat, 29 Juli 2011 pukul 13.30 sd 15.15 DPD1 HTI Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan tarhib Ramadhan. Berbeda dengan aksi biasanya, kali ini mengambil start dari Lapangan parkir Abu Bakar Ali bersebelahan dengan hotel Inna Garuda. Adapun finish tidak lagi di titik nol kilometer atau di perempatan kantor post tetapi di alun-alun utara keraton Yogyakarta.

Peserta tarhib terlihat bahagia dan bergembira ria menyambut bulan penuh rahmat ini. Ini dapat terlihat dari semaraknya tarhib. Banyak sekali tulisan, spanduk dan aksesoris lainnya termasuk juga liwa dan roya.

Lebih unik lagi pakaian yang mereka kenakan. Baik itu batik, surjan, udheng, dan juga jubah yang menandakan khas ulama dari Ngayogyakarta.
Peserta tarhib tidak saja didominasi kaum ibu, bapak-bapak dan remaja tetapi juga anak-anak. Mereka meluapkan kegembiraan dengan bersholawat dan lain sebagainya. Termasuk juga bershalawat dengan bahasa Jawa.

Dari lapangan parkir Abu Bakar Ali, peserta tarhib menelusuri jalan Malioboro dan berakhir di alun-alun utara keraton Yogyakarta. Selama di perjalanan peserta tarhib mendapatkan simpati dari pedagang kaki lima, kusir andhong, tukang becak, turis domestic maupun turis mancanegara. Mereka merasa senang dengan tarhib yang dilakukan. Seperti yang dituturkan oleh pak Istadi seorang penarik becak dari Banutl yang kesehariannya mangkal di malioboro. “Wah sae mas, pawaine. Tertib rapi”, (wah bagus mas pawainya. Tertib dan rapi). Hal senada juga disampaikan oleh Bu Tutik dan Bu Wasilah, pedagang kali lima di Jalan Malioboro. Juga kusir andhong yang mangkal di jalan Malioboro sejak tahun 1968, Mbah Rakidi warga Sidomulyo Godean mengatakan, “Sae mas, kula remen” (bagus mas saya senang).

Seorang seniman, Luwi Blaster dari Kasongan yang mangkal juga berkomentar, propertinya bagus, pakainnya sesuai tema, dah nuasa tradisi, religi, dan simpati. Teratur, rapi dan menarik. [Ilamiyah DPD1 HTI DIY]

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

RAMADHAN, BULAN PERJUANGAN PENEGAKKAN SYARI’AH & KHILAFAH


Tak terasa ramadhan sudah didepan mata, bulan yang penuh rahmat dan magfirah ini kembali hadir menyapa ditengah berbagai kondisi yg sedang melanda kita. Namun demikian, apapun kondisi kita saat ini, jangan sampai menghilangkan rasa gembira kita dalam meyambut bulan suci ramadhan karena kegembiraan itulah yang rosulullah ajarkan ketika ramadhan datang menghampiri kita.

Bulan Ramadhan adalah seutama-utama bulan (afdhalu asy-syuhur), di dalamnya Allah menurunkan Al- Qur’an sebagai petunjuk, rahmat, dan pembeda antara haq dan batil. Di bulan ini juga Allah menurunkan lailatul Qodar yang nilai lebih baik dari seribu bulan. Disamping itu Allah juga melipatgandakan pahala amalan wajib serta menaikan pahala amalam sunnah menjadi amalan wajib.

Ramadhan mempunyai magnet yang luar biasa terhadap kaum muslim. Dengan magnetnya ini ramadhan mampu mengubah para artis mendadak menjadi sangat religious, televisi berlomba mensyiarkan ramadhan,mulai dari acara shaur, buka sampe acara konser music yang dipadu dengan tablig akbar. Disamping itu ramadhan juga mampu mengubah masjid yang tadinya sepi berubah semarak dengan kegiatan keislaman, mulai dari kajian, tablig akbar, kultum, tadarus, seminar, talkshow, buka bersama dan lain-lain. Tentu ini merupakan perubahan yang sangat baik namun kita juga berharap semangat ramadhan ini terus terjaga hingga akhir bulan ramadhan dan 11 bulan selanjutnya.

Keindahan ramadhan sebagai afdhalu asy-syuhur yang di dalamnya ada afdhalu al-lail tentu akan lebih sempurna jika kita terus berjuang untuk menegakkan afdhalul qurbat atau seutama-utama pendekatan diri kepada Allah. Apa itu afdhalul qurbat? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:

فالواجب اتخاذ الإمارة ديناً وقُرْبَةً يتقرب بها إلى الله ؛ فإن التقرب إليه فيها بطاعته وطاعة رسوله من أفضل القربات
Wajib hukumnya mengangkat kepemimpinan, baik karena alasan menegakkan agama maupun pendekatan diri kepada Allah. Karena sesungguhnya pendekatan diri kepada Allah dalam hal kepemimpinan ini, yaitu dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah seutama-utama taqarrub ilallah. (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161)

Mengapa tegaknya imarah, imamah, atau khilafah disebut taqarrub ilallah yang paling afdhal? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، بل لا قيام للدين إلا بها
Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (Khilafah) adalah a’dzomu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung), karena agama tidak akan tegak tanpa khilafah

Atau istilah imam al haitsami أهم الواجبات (kewajiban yang paling penting) yang menyebabkan para sahabat menyibukkan diri memilih pengganti rasulullah setelah wafatnya beliau.

Tidak ada alasan bagi kita untuk libur dari memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah karena alasan berpuasa di bulan ramadhan. Atau berfikir untuk mengurangi intensitas dakwah dengan alasan qiyamul lail dan tilawah al qur’an di malam hari. Sebaliknya, momentum ramadhan, dimana masyrakat sedang berada pada puncak semangat beribadah dan semangat menuntut ilmu harus dimanfaatkan untuk menjelaskan mengenai kewajiban, keperluan, dan urgensi khilafah.

Khilafah adalah bagian dari syariah, khususnya syariah di bidang siyasah. Allah SWT menjamin bahwa syariah-Nya PASTI mendatangkan kerahmatan, tidak hanya untuk kaum muslimin tetapi untuk seluruh alam. Di antara bentuk rahmat Allah tersebut adalah jaminan kesejahteraan bagi seluruh manusia.

Sejarah menjadi bukti tak terbantahkan akan jaminan kesejahteraan tersebut. Sehingga jelas syariah dan khilafah bukanlah ancaman bagi siapa-siapa. Kalau ada yang mengatakan bahwa syariah dan khilafah adalah ancaman. Maka kami katakan: “benar syariah dan khilafah adalah ancaman bagi penjajahan, ancaman bagi Negara kafir imperialis yang mengeruk SDA kita, dan ancaman bagi segelintir orang yang oportunis”.

Kalau ada yang mengatakan bahwa khilafah bertentangan dengan pancasila. Kami ingin bertanya: adakah sila yang secara tegas melarang tegaknya syariah dan khilafah? Kalau ada, sebutkan! Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Redaksi mana dari sila pertama ini yang melarang tegaknya khilafah? Justru redaksi ini menunjukkan makna tauhid “laa ilaha illaLLAH” yang artinya la ma’buda bihaqqin illaLLAH (TIDAK ADA YANG BERHAK DISEMBAH KECUALI ALLAH) yang artinya pula laa hukma illaLLAH (tidak ada hukum yang patut diterapkan selain hukum Allah). Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah?. Justru Syariah dalam bingkai khilafah adalah sistem yang menjamin keadilan sesuai dengan parameter syariah.

Dengan sistem syariah akan terwujud manusia-manusia yang beradab. Tidak seperti sekarang, sistem sekular telah mencetak manusia-manusia yang tidak beradab. Manusia yang lebih malu mengaku bahwa dia telah menikah, sebaliknya memilih mengaku bahwa dia hanya “kumpul kebo”. Sistem yang melegalkan perzinahan, prostitusi meskipun di bulan ramadhan, system yang melegalkan aborsi dan perbuatan bejat lainnya. Sistem seperti inikah yang diharapkan akan mewujudkan manusia yang beradab. Sila ketiga “persatuan Indonesia”. Apakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah? Dari Abu Sa’id al Khudri ra. Nabi bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim)
mengomentari hadist ini Imam Nawawi menyatakan:

فِيهِ أَنَّهُ لَا يَجُوز عَقْدهَا لِخَلِيفَتَيْنِ

Berdasarkan hadist ini, tidak boleh/tidak sah akad baiat bagi dua orang khalifah sekaligus (Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, 6/326)
Berdasarkan hadist ini jelas bahwa perpecahan atau disintegrasi bangsa HARAM HUKUMNYA. Inilah sikap yang ditunjujan Hizbut Tahrir (HT), bahwa wilayah NKRI HARAM HUKUMNYA dipecah-pecah. sejak awal HT tidak pernah setuju dengan referendum yang dilakukan di Timor-Timur dan pelepasan wilayah Nusantara yang lain.

Ringkasnya syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapapun. Yang jelas-jelas mengancam dan menggiring negeri ini pada jurang kehancuran adalah sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan puluhan tahun di negeri ini. Yang jelas-jelas mengancam negeri ini adalah para koruptor yang mengemplang triliyunan uang rakyat, perusahaan swasta local dan asing yang mengeruk 6,5 milyar ton cadangan batu bara Kalimantan Selatan, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeksploitasi 80 % cadangan migas kita, dst.

Kalau syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapa-siapa. Maka HT sebagai pengusung ide syariah dan khilafah juga bukanlah ancaman bagi siapapun. Terlebih sejak awal berdirinya hingga kini HT telah menegaskan tidak akan pernah menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. HT berdakwah di lebih 40 negara, di banyak Negara aktivitas HT dihalangi, diintimidasi, disiksa, bahkan ratusana syabab menemui syahidnya. Tetapi HT tetap istiqamah dengan metode dakwah Rasul saw. yaitu tanpa kekerasan.

Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan Allah serta kerja keras HT bersama umat. Seruan penegakkan khilafah semakin mendapat sambutan yang luas. Konferensi Rajab yang diadakan beberapa waktu lalu mendapat sambutan yang luar biasa. Ratusan ribu kaum muslimin membuktikan dukungannya dalam konferensi rajab yang digelar dari Aceh hingga Papua. Ribuan ulama, para ustadz-ustadzah, para muballigh-muballighah, para intelektual, para pengusaha, mahasiswa, bahkan penyandang cacat tuna netra hadir untuk memberikan dukungannya terhadap perjuangan khilafah ini. Seruan penegakan khilafah juga mendapat sambutan yang luar biasa di belahan dunia yang lain, bahkan di jantung peradaban kapitalisme, yakni AS.
Dukungan penegakan khilafah ini semakin dipertegas dengan beragam survey, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan survey yang dilakukan oleh LSM yang getol memperjuangkan demokrasi, Pluralisme dan HAM yakni SETARA Institute (2010) menunjukkan bahwa 34, 6 % responden Jabodetabek setuju dengan ide Khilafah. Di kota Bogor bahkan, responden yang setuju khilafah lebih besar dari yang menolaknya, yaitu 46: 44 %. Survey yang lebih luas dilakukan SEM Institute (2010) menunjukkan 74% responden di Indonesia setuju syariah, 70% setuju khilafah sebagai bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, dan 65 % umat Islam butuh khilafah yang menyatukan mereka.

Hal ini menegaskan bahwa janji Allah dan bisyarah Rasulillah akan tegaknya khilafah sudah semakin dekat. Terlebih fase mulkan jabriatan (penguasa diktator) sebagaimana yang digambarkan Nabi saw. saat ini satu persatu telah tumbang. Dan fase setelah itu bukanlah fase kemenangan demokrasi sebagaimana yang diramalkan Francis Fukuyama, tapi setelah fase mulkan jabriatan ini adalah fase khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Takbir!!!
Maka dibulan yang mulia, bulan yang paling utama ini kami menyerukan kepada anda wahai ahlul quwwah wal mana’ah, para perwira-perwira militer, para ‘alim-ulama, para intelektual, pengusaha, jurnalis, dan seluruh elemen umat sambutlah perjuangan penegakan afdhalul qur’baat, a’dzhamu wajibati ad-diin, ahammu al-waajibat yakni perjuangan tegaknya khilafah. Berjuanglah bersama HT. Kami menyeru dengan seruan Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al Anfal [8]: 24)
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb
sumber : wahyudiibnuyusuf.blogspot.com dengan sedikit perubahan

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Internet Protokol Versi 6


A. Pendahuluan
Misi awal internet adalah sebagai jaringan komunikasi non-profit. Pada awalnya, internet didesain tanpa memperhatikan dunia bisnis. Kemudian hal ini menjadi masalah sekarang dan di masa depan. Dengan semakin banyaknya penghuni internet, baik pencari informasi maupun penyedia informasi, maka kebutuhan akan pengalamatan di internet makin membengkak. Kebutuhan besar akan ip address biasanya terjadi di jaringan komputer perusahaan dan lan-lan di lembaga pendidikan.
Ip address sebagai sarana pengalamatan di internet semakin menjadi barang mewah dan ekslusif. Tidak sembarang orang sekarang ini bisa mendapatkan ip address yang valid dengan mudah. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat menghemat ip address. Logika sederhana untuk penghematan ip address ialah dengan meng-share suatu nomor ip address valid ke beberapa client ip lainnya. Atau dengan kata lain beberapa komputer bisa mengakses internet walau kita hanya memiliki satu ip address yang valid. Salah satu mekanisme itu disediakan oleh network address translation (nat).
Protokol internet pertama kali dirancang awal tahun 1980-an. Pada saat itu hanya digunakan untuk menghubungkan beberapa node saja dan tidak diprediksikan akan tumbuh secara global seperti sekarang ini. Pada awal tahun 1990-an mulai disadari bahwa internet mulai tumbuh ke seluruh dunia dengan pesat, pada saat itu juga orang-orang mulai menyadari cepat atau lambat alamat ipv4 yang sebesar 32 bit akan semakin terbatas dan sulit didapatkan pada masa-masa mendatang, selain itu internet sekarang ini mulai melewatkan aplikasi multimedia, sehingga ada beberapa masalah timbul pada traffic internet seperti masalah priority, bottleneck, dsbnya. Solusi untuk mengatasi keterbatasan alamat ipv4 ini adalah penggunaan nat (network address translation) dan cidr (classes interdomain routing). Kedua digunakan dalam rangka penggunaan alamat ip secara hemat dan efisien. Namun solusi seperti nat tidaklah menyelesaikan persoalan secara utuh. Ada beberapa hambatan muncul bila menggunakan nat, seperti kesulitan pada aplikasi voip, kesulitan pada aplikasi ipsec, lalu lintas muticast yang tidak dapat melewati nat, dan nat itu sendiri sebagai single failure box dimana bila mesin penyedia nat rusak maka semua koneksi client dengan internet menjadi terputus.
Alasan utama untuk mulai beralih ke ipv6 adalah terbatasnya ruang pengalamatan. Padamasa sekarang ini bukan komputer saja yang terhubung ke internet namun peralatan sehari-hari seperti telepon seluler, pda, home appliances, dan sebagainya juga terhubungkan ke internet, dapatkan anda bayangkan seberapa banyak alamat ip yang dibutuhkan untuk menghubungkan semua itu ke internet. Diperkirakan pada 1 sampai 7 tahun kedepan merupakan masa transisi dari ipv4 ke ipv6. Secara eksplisit berdasarkan kesepakatan ietf memang tidak ada tanggal pasti kapan umur ipv4 akan berakhir, namun masa transisi dari ipv4 ke ipv6 merupakan proses yang bertahap dan selama transisi harus ada jaminan bahwa proses tersebut tidak mengganggu aktifitas internet.
B. Internet protokol versi 6 (ipv6)
Internet protokol versi 6 (ipv6) terkadang disebut dengan nama next generation internet protocol merupakan protokol dari hasil pengembangan ipv4. Penggunaan ipv6 kali pertama direkomendasikan pada tanggal 25 juli di toronto pada saat pertemuan internet engineering task force(ietf). Perancangan ipv6 dilatarbelakangi oleh keterbatasan pengalamatan pada ip versi sebelumnya yaitu ipv4 yang saat ini memiliki panjang 32 bit dan dirasa tidak dapat menangani seluruh pengguna internet dimasa depan akibat dari pertumbuhan jaringan khususnya internet. Menurut situs http://www.economist.com/science/tq/ displaystory.cfm?story_id=11482493 mengatakan pada tahun 2008 pengunaan ipv4 di jaringan internet mendekati nilai 85% dan jika perkembangan ini terus berlanjut, akan menyebabkan persediaan ipv4 akan habis pada tahun 2011.
Untuk format penulisan ipv6, address sepanjang 128 bit dibagi ke dalam 8 bagian masing-masing bagian dikonversi ke 4-digit nomor heksadesimal dan dipisahkan denga tanda titik-dua( : ) untuk tiap bagian, sedangkan panjang prefix(0-12 dipisahkan dengan tanda( / ).
Ipv6 memiliki beberapa fitur dibandingkan dengan ipv4. Adapun fitur yang terdapat pada ipv6 adalah :
1. Otomatisasi berbagai setting,
Alamat pada ipv4 pada dasarnya statis terhadap host. Biasanya diberikan secara berurut pada host. Saat ini hal tersebut bisa dilakukan secara otomatis dengan menggunakan dhcp (dynamic host configuration protocol), tetapi hal tersebut pada ipv4 merupakan fungsi tambahan saja, sebaliknya pada ipv6 fungsi untuk men-setting secara otomatis disediakan secara standar . Pada setting otomatis ini terdapat dua cara tergantung dari penggunaan address, yaitu setting otomatis stateless (tidak perlu menyediakan server untuk pengelolaan dan pembagian ip address) dan statefull (diperlukan server untuk pengelolaan keadaan ip address).

2. Format header baru,
Header ipv6 memiliki format baru yang dirancang untuk menjaga overhead header ke nilai minimum. Hal ini diwujudkan dengan memindahkan field-field opsional dan non-esensial ke extension header yang ditempatkan setelah header ipv6 itu sendiri. Sehingga membuat lebih efisien diproses pada router-router perantara.

3. Ruang alamat ip yang besar ,
Alamat ipv6 memiliki ukuran 128 bit, baik alamat sumber maupun alamat tujuan. Meskipun dengan ukuran 128 bit dapat memberikan peluang kombinasi sebanyak 3,4×1038 , ruang alamat ipv6 telah dirancang untuk mengizinkan multi-level subnetting dan alokasi alamat dari suatu backbone internet ke subnet-subnet individual dalam sebuah organisasi. Dengan begitu besarnya jumlah alamat yang tersedia, teknik-teknik konversi alamat seperti nat menjadi tidak dibutuhkan.

4. Dukungan keamanan yang built-in,
Suite protocol ipv6 memberikan dukungan penuh untuk ipsec. Fitur ini menawarkan solusi yang reliable untuk keamanan jaringan, dan menjamin interoperability di antara implementasi-implementasi ipv6 berbeda.

5. Dukungan qos yang lebih baik,
Field-field baru dalam header ipv6 menetapkan bagaimana trafik-trafik ditangani dan diidentifikasi sehinggan dukungan qos mudah diwujudkan.

6. Protokol baru (neighboring node),
Merupakan sebuah seri pesan-pesan internet control message protocol for ipv6 (icmpv6) yang berperan mengelola interaksi-interaksi di antara node-node neighbor (neighboring nodes) atau node-node dalam link yang sama.

7. Ekstensibilitas,
Ipv6 dapat mudah memperluas fitur-fitur barunya dengan cara menambahkan header-header tambahan (extension header) setelah header ipv6 utama. Selain adanya fitur-fitur baru, ipv6 juga dirancang untuk memperbaiki perbaikan terhadap struktur header pada ipv4, dimana ada field-field pada ipv4 yang dibuang dan beberapa lainnya digantika dengan field baru, diantaranya :

8. Header length
Field header length dibuang karena tidak berperan lagi dalam header dengan ukuran panjang tetap.

9. Identification, flags, dan fragment offset
Field identification, flags, dan fragment offset (dalam ipv4 header) ketiganya berperan dalam fragmentasi paket, dimana paket yang dikirimkan dibagi menjadi potongan-potongan kecil, namun jika ternyata salah satu paket mengalami error, keseluruhan transmisi harus dibentuk ulang. Pada ipv6, penanganan seperti ini dilakukan host-host dengan mempelajari dengan mempelajari ukuran path maximum transmission unit (mtu) melalui prosedur yang dinamakan path mtu discovery.

10. Header checksum
Field header checksum dihapus untuk meningkatkan kecepatan.

11. Type of service
Field type of service digantikan dengan trafficclass. Field type of service ini digunakan untuk merepresentasikan tipe layanan bersangkutan, reabilitasnya, waktu ¬delay , atau keamanan.
Secara umum karakteristik model pengalamatan pada ipv6 memiliki dasar yang sama dengan pengalamatan ipv4. Berikut adalah karakteristik model dari pengalamatan dari ipv6:

12. Fungsi inti Dari Pengalamatan
Dua fungsi utama dari pengalamatan adalah network interface identification dan routing. Routing merupakan suatu kemudahan untuk melakukan proses struktur dari pengalamatan pada internework.

13. Pengalamatan Layer Jaringan
Pengalamatan ipv6 masih berhubungan satu dengan lainnya dengan network layer pada jaringan tcp/ip dan langsung dari alamat data link layer.

14. Jumlah Pengalamatan Ip Per Device (Alat)
Pengalamatan biasanya digunakan untuk menandai perangkat jaringan , sehingga setiap computer yang terhuung biasanya akan memiliki satu alamat, dan router memiliki lebih dari satu alamat untuk masing-masing physical network yang terhubung.

15. Address Interpretation and Prefix Representation
Alamat ipv6 memiliki kesamaan kelas dengan alamat ipv4 dimana masing-masing memiliki bagian network identifier dan bagian host identifier.

16. Alamat Publik dan Privat
Kedua tipe dari alamat tersebut terdapat pada ipv6, walaupun kedua tipe tersebut di definisikan dan digunakan untuk keperluan yang berbeda.
Seperti diketahui sebelumnya, ipv6 diciptakan untuk menangani masalah-masalah yang terdapat pada ip, akan tetapi perubahan dan penambahan pada ipv6 tersebut dibuat tanpa melakukan perubahan pada inti sebenarnyadari ip itu sendiri. Pengalamatan merupakan perubahan yang mencolok yang dapat dilihat dari perbedaan antara ipv6 dengan ipv4, akan tetapi perubahan tersebut merupakan hal bagaimana pengalamatan tersebut diimplementasikan dan digunakan. Salah satu perubahan penting yang terdapat pada model pengalamatan dari ipv6 adalah tipe alamat yang didukungnya. Pada ipv4 hanya mendukung tiga tipe alamat seperti unicat, multicast dan broadcast dengan actual traffic yang paling banyak digunakan adalah alamat unicast. Pada ipv6 juga memiliki tiga tipe alamat seperti ipv4 hanya saja dengan beberapa perubahan , yaitu unicast, multicast dan anycast. Selain itu ipv6 juga memiliki satu tipe alamat lagi yang digunakan untuk keperluan dimasa yang akan dating yang dinamakan dengan reserved.

17. Alamat unicast
Alamat ini digunakan untuk komunikasi satu lawan satu dengan menunjuk satu host. Alamat unicast terbagi menjadi empat bagian yaitu :
a. Alamat global. Alamat yang digunakan misalnya untuk keperluan alamat geografis.
b. Alamat link local adalah alamat yang dipakai dalam satu link.
c. Site local, yaitu alamat yang setara dengan alamat private, yang dipakai terbatas didalam site saja. Alamat ini dapat diberikan bebas namun memiliki cirri khas unik didalam site tersebut serta alamat ini tidak dapat mengirimkan paket dengan tujuan alamat diluar dari site tersebut.
d. Compatible.

18. Alamat multicast
Alamat ini digunakan untuk komunikasi satu lawan banyak dengan menunjuk host dari group. Alamat multicast pada ipv4 didefinisikan sebagai kelas d, sedangkan pada ipv6 ruang yang 8 bit pertamanya dimulai denga “ff” disediakan untuk alamat multicast.

19. Alamat anycast
Alamat ini digunakan ketika suatu paket harus dikirimkan ke beberapa anggota dari grup dan bukan mengirimkan ke seluruh anggota dari grup atau dapat dikatakan menunjuk host dari group.
Semakin panjang alamat ip maka semakin banyak ruang alamat yang tersedia untuk pemakainya. Seperti yang telah diketahui bahwa jumlah alamat ipv4 tergolong sangat kecil untuk mendukung teknologi internet dimasa yang akan datang dimana hal ini merupakan implikasi dari bagaimana alamat internet tersebut digunakan. Pada ipv4 , alamat ip memiliki panjang 32 bit yang dibagi menjadi 4 bagian octet yang masing-masing octet terdiri dari delapan bit. Sehingga jika diasumsikan semua alamat digunakan seluruhnya, maka jumlah alamat yang tersedia sebanyak 232 atau sama dengan 4.294.967.296 alamat. Berbeda dengan ipv6 yang menggunakan ukuran sebesar 128 bit yang dibagi menjadi delapan blok 16-bit. Sama seperti ipv4, jika diasumsikan semua alamat digunakan seluruhnya maka maka jumlah yang didapat 3,4 x 1038. Perubahan yang lain terdapat pada penulisan alamat ip, dimana telah diketahui bahwa alamat ipv4 direpresentasikan dalam format dotted-decimal (untuk gambar lihat pada lampiran).
Untuk ipv6, alamat sebesar 128 bit dibagi kedalam delapan blok 16 bit, dimana masing-masing blok dikonversi ke empat digit nomor heksadesimal dan dipisahkan dengan tanda titik dua (“:”) . Hasil representasi dinamakan dengan colon-hexadecimal (untuk gambar lihat pada lampiran)..
Pada pengalamatan ipv6, ada suatu teknik lain yang bisa digunakan untuk memperpendek penulisan alamat ipv6 setelah melalui notasi heksadesimal. Teknik tersebut dinamakan kompresi nol (zero compression). Dengan teknik ini dimungkinkan untuk mengganti bilangan heksadesimal yang merepresentasikan nol kedalam dua karakter titik dua (“::”).
Tabel. Penggunaan alternatif kompresi nol

Selain dua teknik sebelumnya, terdapat satu teknik lagi yang merupakan salah satu satu untuk menggabungkan pengalamatan ipv6 seperti terlihat menyerupai pengalamatan pada ipv4. Teknik ini menggabungkan 96 bit pertama dari alamat ipv6 yang menggunakan notasi heksadesimal serta titik dua dengan 32 bit terakhir yang menggunakan notasi dotted decimal.
Sebagai contoh dengan menggunakan notasi gabungan, maka alamat ipv6 menjadi 2002:ca78:7801::2002:202.120.120.
Sama halnya dengan kelas alamat ipv4., alamat ipv6 dibagi menjadi jumlah bit network identifier diikuti dengan jumlah bit host identifier. Prefix pada ipv6 merupakan sebutan dari network identifier, sedangkan prefix length merupakan banyaknya bit angka yang digunakan. Prefix biasanya direpresentasikan dengan penambahan karakter garis miring setelah alamat ipv6. Metode tersebut sama digunakan pada penambahan prefix pada ipv4.
Tahun 2006 merupakan tahun penting bagi ipv6, dengan berakhirnya jaringan percobaan -bone, penutupan resmi proyek kame di jepang, dan berakhirnya layanan pengembalian dns ip6.int. Di akhir tahun 2006, icann mengumumkan bahwa lembaga itu telah meratifikasi kebijakan global yang dikembangkan di dalam komunitas rir untuk mengubah rincian dari alokasi ipv6 iana menjadi rir. Pada tahun 2006, apnic membuat 41 alokasi ipv6, dengan total 3226 /32. Jepang, korea, dan australia merupakan pemegang jumlah terbesar alamat ipv6 di wilayah ini.



[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Perbedaan KBps dengan Kbps ! Penting Untuk Diketahui


PENTING ! anda Ketahui disinilah banyak persepsi salah! sebenarnya antara KBps dan Kbps adalah beda, memang dalam pengucapan banyak yang sama. Pada dasarnya KBps dan Kbps merupakan satuan yg sangat berbeda.

Pernah liat kan iklan promosi para ISP (Speedot, IM*, atau Tel*sel Flash) yg menawarkan speed inet mulai up to 128 Kbps - 7.2 Mbps??
Tapi kenapa pas donlot real gak prnah dapet segitu ya??
kenapa gtu ??

Berikut penjelasan detailnya:

* KBps (Kilobyte per second)
* Kbps (Kilobit per second)

Konversi 1 byte = 8 bit


Untuk mengetahui speed download realnya, gampangkan, tinggal dibagi aja speed yg d kasih ISP dgn angka 8 (Delapan)

Berikut listnya:
128 Kbps: 128/8= 16 KBps
256 Kbps: 256/8= 32KBps
384 Kbps: 384/8= 48 KBps
512 Kbps: 512/8= 64 KBps
1 Mbps : 1024/8= 128 KBps


Hal ini sering menimbulkan pertanyaan “katanya 256 kbps kok dapatnya waktu download cuman 32 KBps ?
Kalau dijabarkan, jika 1 Byte = 8 bit artinya bila berlangganan 1 Mbps Dedicated dan dapatnya adalah 128 KBps x 8 = 1024 Kbps / 1 Mbps

Jika kecepatan 256 kbps maka yang didapat adalah 256/8= 32 KBps
Jika kecepatan 384 kbps maka yang didapat adalah 256/8= 48 KBps

Begitu juga sebaliknya untuk mengetahui berapa bandwidth yang didapat dari provider dengan melihat satuan yang didapat dari download misal :

Jika tertera 10kBps maka kecepatan yang di dapat dari provider adalah 10X8=90kbps
Jika tertera 20kBps maka kecepatan yang di dapat dari provider adalah 20X8=160kbps
Tetapi kecepatan tersebut tidak bisa menjadi patokan 100%, karena biasanya pada saat download kita juga melakukan browsing, chatting atau bahkan melakukan download file yang lainnya.

Misalnya kita punya handppone 3,5G yang konon bisa dengan kecepatan 3,2 Mbps (Mega bit per second) artinya sama dengan 3,2 Mbps dibagi 8 = 400 KBps ( Kilo bytes)

Sebagai contoh lain dengan acuan 1 Byte = 8 bit, maka :
256 kbps sama dengan 258/8 = 32 KBps
1 Mbps Dedicated sama dengan 128 KBps x 8 = 1024 Kbps / 1 Mbps

Coba ukur speed / bandwith internetmu sekarang biar tidak bingung lagi!

Oh ia , penting diketahui sebab banyak provider2 yg menipu menggunakan atas nama KBps dan Kbps . .so agan skrng agan udah tau dan gag bakall tertipu lag
Sumber yang mndukung : www.Kaskus.us

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan


Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?

Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).


إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah. (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari. (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)


لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari. (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).


لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari. (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di-shahih-kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)


إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.”[1]

Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:


تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.

Dari Ibnu Abbas bahwa:


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya

Tidak Terikat Dengan Mathla'

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:


أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. (HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:


أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]

Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]

Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:


غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya. (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].

Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Jakarta tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.

Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener¬apkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim¬in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:


وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

WaLlâh a’lam bi al-shawâb. [tsaqafah/syabab.com]

________________________________________
[1] al-Nawawi, al-Majmû’Syarh al-Muhadzdzab,6/269
[2] Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[3] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh, 28; Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[4] al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25
[5] Dalil syara yang mu’tabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
[6] al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2/364.
[7] al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329
[8] Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fath al-Bârî; Bab Shiyâm.
[9] Al-Shan’ani, Subul al-Salâm, jld. 2, hal. 310.
[10] al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368.
[12] al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550
[13] al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/296.
[14] al-Hashfaky, “al-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr”, 2/131-132
[15] Mughn al-Muhtâj, 2/223-224
[16] al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218.
[17] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 25/104-105

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook