Sponsored Ads

Tarhib Ramadhan DPD1 HTI Daerah Istimewa Yogyakarta, “Ngayogyakarta Banget”


HTI Press. Jumat, 29 Juli 2011 pukul 13.30 sd 15.15 DPD1 HTI Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan tarhib Ramadhan. Berbeda dengan aksi biasanya, kali ini mengambil start dari Lapangan parkir Abu Bakar Ali bersebelahan dengan hotel Inna Garuda. Adapun finish tidak lagi di titik nol kilometer atau di perempatan kantor post tetapi di alun-alun utara keraton Yogyakarta.

Peserta tarhib terlihat bahagia dan bergembira ria menyambut bulan penuh rahmat ini. Ini dapat terlihat dari semaraknya tarhib. Banyak sekali tulisan, spanduk dan aksesoris lainnya termasuk juga liwa dan roya.

Lebih unik lagi pakaian yang mereka kenakan. Baik itu batik, surjan, udheng, dan juga jubah yang menandakan khas ulama dari Ngayogyakarta.
Peserta tarhib tidak saja didominasi kaum ibu, bapak-bapak dan remaja tetapi juga anak-anak. Mereka meluapkan kegembiraan dengan bersholawat dan lain sebagainya. Termasuk juga bershalawat dengan bahasa Jawa.

Dari lapangan parkir Abu Bakar Ali, peserta tarhib menelusuri jalan Malioboro dan berakhir di alun-alun utara keraton Yogyakarta. Selama di perjalanan peserta tarhib mendapatkan simpati dari pedagang kaki lima, kusir andhong, tukang becak, turis domestic maupun turis mancanegara. Mereka merasa senang dengan tarhib yang dilakukan. Seperti yang dituturkan oleh pak Istadi seorang penarik becak dari Banutl yang kesehariannya mangkal di malioboro. “Wah sae mas, pawaine. Tertib rapi”, (wah bagus mas pawainya. Tertib dan rapi). Hal senada juga disampaikan oleh Bu Tutik dan Bu Wasilah, pedagang kali lima di Jalan Malioboro. Juga kusir andhong yang mangkal di jalan Malioboro sejak tahun 1968, Mbah Rakidi warga Sidomulyo Godean mengatakan, “Sae mas, kula remen” (bagus mas saya senang).

Seorang seniman, Luwi Blaster dari Kasongan yang mangkal juga berkomentar, propertinya bagus, pakainnya sesuai tema, dah nuasa tradisi, religi, dan simpati. Teratur, rapi dan menarik. [Ilamiyah DPD1 HTI DIY]

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

RAMADHAN, BULAN PERJUANGAN PENEGAKKAN SYARI’AH & KHILAFAH


Tak terasa ramadhan sudah didepan mata, bulan yang penuh rahmat dan magfirah ini kembali hadir menyapa ditengah berbagai kondisi yg sedang melanda kita. Namun demikian, apapun kondisi kita saat ini, jangan sampai menghilangkan rasa gembira kita dalam meyambut bulan suci ramadhan karena kegembiraan itulah yang rosulullah ajarkan ketika ramadhan datang menghampiri kita.

Bulan Ramadhan adalah seutama-utama bulan (afdhalu asy-syuhur), di dalamnya Allah menurunkan Al- Qur’an sebagai petunjuk, rahmat, dan pembeda antara haq dan batil. Di bulan ini juga Allah menurunkan lailatul Qodar yang nilai lebih baik dari seribu bulan. Disamping itu Allah juga melipatgandakan pahala amalan wajib serta menaikan pahala amalam sunnah menjadi amalan wajib.

Ramadhan mempunyai magnet yang luar biasa terhadap kaum muslim. Dengan magnetnya ini ramadhan mampu mengubah para artis mendadak menjadi sangat religious, televisi berlomba mensyiarkan ramadhan,mulai dari acara shaur, buka sampe acara konser music yang dipadu dengan tablig akbar. Disamping itu ramadhan juga mampu mengubah masjid yang tadinya sepi berubah semarak dengan kegiatan keislaman, mulai dari kajian, tablig akbar, kultum, tadarus, seminar, talkshow, buka bersama dan lain-lain. Tentu ini merupakan perubahan yang sangat baik namun kita juga berharap semangat ramadhan ini terus terjaga hingga akhir bulan ramadhan dan 11 bulan selanjutnya.

Keindahan ramadhan sebagai afdhalu asy-syuhur yang di dalamnya ada afdhalu al-lail tentu akan lebih sempurna jika kita terus berjuang untuk menegakkan afdhalul qurbat atau seutama-utama pendekatan diri kepada Allah. Apa itu afdhalul qurbat? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:

فالواجب اتخاذ الإمارة ديناً وقُرْبَةً يتقرب بها إلى الله ؛ فإن التقرب إليه فيها بطاعته وطاعة رسوله من أفضل القربات
Wajib hukumnya mengangkat kepemimpinan, baik karena alasan menegakkan agama maupun pendekatan diri kepada Allah. Karena sesungguhnya pendekatan diri kepada Allah dalam hal kepemimpinan ini, yaitu dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah seutama-utama taqarrub ilallah. (Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar'iyyah, hal. 161)

Mengapa tegaknya imarah, imamah, atau khilafah disebut taqarrub ilallah yang paling afdhal? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali menegaskan:
يجب أن يُعرف أن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، بل لا قيام للدين إلا بها
Wajib diketahui bahwa wilayatu amri an-nas (Khilafah) adalah a’dzomu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung), karena agama tidak akan tegak tanpa khilafah

Atau istilah imam al haitsami أهم الواجبات (kewajiban yang paling penting) yang menyebabkan para sahabat menyibukkan diri memilih pengganti rasulullah setelah wafatnya beliau.

Tidak ada alasan bagi kita untuk libur dari memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah karena alasan berpuasa di bulan ramadhan. Atau berfikir untuk mengurangi intensitas dakwah dengan alasan qiyamul lail dan tilawah al qur’an di malam hari. Sebaliknya, momentum ramadhan, dimana masyrakat sedang berada pada puncak semangat beribadah dan semangat menuntut ilmu harus dimanfaatkan untuk menjelaskan mengenai kewajiban, keperluan, dan urgensi khilafah.

Khilafah adalah bagian dari syariah, khususnya syariah di bidang siyasah. Allah SWT menjamin bahwa syariah-Nya PASTI mendatangkan kerahmatan, tidak hanya untuk kaum muslimin tetapi untuk seluruh alam. Di antara bentuk rahmat Allah tersebut adalah jaminan kesejahteraan bagi seluruh manusia.

Sejarah menjadi bukti tak terbantahkan akan jaminan kesejahteraan tersebut. Sehingga jelas syariah dan khilafah bukanlah ancaman bagi siapa-siapa. Kalau ada yang mengatakan bahwa syariah dan khilafah adalah ancaman. Maka kami katakan: “benar syariah dan khilafah adalah ancaman bagi penjajahan, ancaman bagi Negara kafir imperialis yang mengeruk SDA kita, dan ancaman bagi segelintir orang yang oportunis”.

Kalau ada yang mengatakan bahwa khilafah bertentangan dengan pancasila. Kami ingin bertanya: adakah sila yang secara tegas melarang tegaknya syariah dan khilafah? Kalau ada, sebutkan! Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Redaksi mana dari sila pertama ini yang melarang tegaknya khilafah? Justru redaksi ini menunjukkan makna tauhid “laa ilaha illaLLAH” yang artinya la ma’buda bihaqqin illaLLAH (TIDAK ADA YANG BERHAK DISEMBAH KECUALI ALLAH) yang artinya pula laa hukma illaLLAH (tidak ada hukum yang patut diterapkan selain hukum Allah). Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah?. Justru Syariah dalam bingkai khilafah adalah sistem yang menjamin keadilan sesuai dengan parameter syariah.

Dengan sistem syariah akan terwujud manusia-manusia yang beradab. Tidak seperti sekarang, sistem sekular telah mencetak manusia-manusia yang tidak beradab. Manusia yang lebih malu mengaku bahwa dia telah menikah, sebaliknya memilih mengaku bahwa dia hanya “kumpul kebo”. Sistem yang melegalkan perzinahan, prostitusi meskipun di bulan ramadhan, system yang melegalkan aborsi dan perbuatan bejat lainnya. Sistem seperti inikah yang diharapkan akan mewujudkan manusia yang beradab. Sila ketiga “persatuan Indonesia”. Apakah sila ini melarang tegaknya syariah dan khilafah? Dari Abu Sa’id al Khudri ra. Nabi bersabda:

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخِر مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim)
mengomentari hadist ini Imam Nawawi menyatakan:

فِيهِ أَنَّهُ لَا يَجُوز عَقْدهَا لِخَلِيفَتَيْنِ

Berdasarkan hadist ini, tidak boleh/tidak sah akad baiat bagi dua orang khalifah sekaligus (Syarhu an-Nawawi ‘ala Muslim, 6/326)
Berdasarkan hadist ini jelas bahwa perpecahan atau disintegrasi bangsa HARAM HUKUMNYA. Inilah sikap yang ditunjujan Hizbut Tahrir (HT), bahwa wilayah NKRI HARAM HUKUMNYA dipecah-pecah. sejak awal HT tidak pernah setuju dengan referendum yang dilakukan di Timor-Timur dan pelepasan wilayah Nusantara yang lain.

Ringkasnya syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapapun. Yang jelas-jelas mengancam dan menggiring negeri ini pada jurang kehancuran adalah sistem kapitalisme-sekular yang diterapkan puluhan tahun di negeri ini. Yang jelas-jelas mengancam negeri ini adalah para koruptor yang mengemplang triliyunan uang rakyat, perusahaan swasta local dan asing yang mengeruk 6,5 milyar ton cadangan batu bara Kalimantan Selatan, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeksploitasi 80 % cadangan migas kita, dst.

Kalau syariah dan khilafah bukan ancaman bagi siapa-siapa. Maka HT sebagai pengusung ide syariah dan khilafah juga bukanlah ancaman bagi siapapun. Terlebih sejak awal berdirinya hingga kini HT telah menegaskan tidak akan pernah menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. HT berdakwah di lebih 40 negara, di banyak Negara aktivitas HT dihalangi, diintimidasi, disiksa, bahkan ratusana syabab menemui syahidnya. Tetapi HT tetap istiqamah dengan metode dakwah Rasul saw. yaitu tanpa kekerasan.

Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan Allah serta kerja keras HT bersama umat. Seruan penegakkan khilafah semakin mendapat sambutan yang luas. Konferensi Rajab yang diadakan beberapa waktu lalu mendapat sambutan yang luar biasa. Ratusan ribu kaum muslimin membuktikan dukungannya dalam konferensi rajab yang digelar dari Aceh hingga Papua. Ribuan ulama, para ustadz-ustadzah, para muballigh-muballighah, para intelektual, para pengusaha, mahasiswa, bahkan penyandang cacat tuna netra hadir untuk memberikan dukungannya terhadap perjuangan khilafah ini. Seruan penegakan khilafah juga mendapat sambutan yang luar biasa di belahan dunia yang lain, bahkan di jantung peradaban kapitalisme, yakni AS.
Dukungan penegakan khilafah ini semakin dipertegas dengan beragam survey, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan survey yang dilakukan oleh LSM yang getol memperjuangkan demokrasi, Pluralisme dan HAM yakni SETARA Institute (2010) menunjukkan bahwa 34, 6 % responden Jabodetabek setuju dengan ide Khilafah. Di kota Bogor bahkan, responden yang setuju khilafah lebih besar dari yang menolaknya, yaitu 46: 44 %. Survey yang lebih luas dilakukan SEM Institute (2010) menunjukkan 74% responden di Indonesia setuju syariah, 70% setuju khilafah sebagai bentuk sistem politik dan pemerintahan dalam Islam, dan 65 % umat Islam butuh khilafah yang menyatukan mereka.

Hal ini menegaskan bahwa janji Allah dan bisyarah Rasulillah akan tegaknya khilafah sudah semakin dekat. Terlebih fase mulkan jabriatan (penguasa diktator) sebagaimana yang digambarkan Nabi saw. saat ini satu persatu telah tumbang. Dan fase setelah itu bukanlah fase kemenangan demokrasi sebagaimana yang diramalkan Francis Fukuyama, tapi setelah fase mulkan jabriatan ini adalah fase khilafah ‘ala minhaji an-nubuwwah. Takbir!!!
Maka dibulan yang mulia, bulan yang paling utama ini kami menyerukan kepada anda wahai ahlul quwwah wal mana’ah, para perwira-perwira militer, para ‘alim-ulama, para intelektual, pengusaha, jurnalis, dan seluruh elemen umat sambutlah perjuangan penegakan afdhalul qur’baat, a’dzhamu wajibati ad-diin, ahammu al-waajibat yakni perjuangan tegaknya khilafah. Berjuanglah bersama HT. Kami menyeru dengan seruan Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al Anfal [8]: 24)
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb
sumber : wahyudiibnuyusuf.blogspot.com dengan sedikit perubahan

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Internet Protokol Versi 6


A. Pendahuluan
Misi awal internet adalah sebagai jaringan komunikasi non-profit. Pada awalnya, internet didesain tanpa memperhatikan dunia bisnis. Kemudian hal ini menjadi masalah sekarang dan di masa depan. Dengan semakin banyaknya penghuni internet, baik pencari informasi maupun penyedia informasi, maka kebutuhan akan pengalamatan di internet makin membengkak. Kebutuhan besar akan ip address biasanya terjadi di jaringan komputer perusahaan dan lan-lan di lembaga pendidikan.
Ip address sebagai sarana pengalamatan di internet semakin menjadi barang mewah dan ekslusif. Tidak sembarang orang sekarang ini bisa mendapatkan ip address yang valid dengan mudah. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat menghemat ip address. Logika sederhana untuk penghematan ip address ialah dengan meng-share suatu nomor ip address valid ke beberapa client ip lainnya. Atau dengan kata lain beberapa komputer bisa mengakses internet walau kita hanya memiliki satu ip address yang valid. Salah satu mekanisme itu disediakan oleh network address translation (nat).
Protokol internet pertama kali dirancang awal tahun 1980-an. Pada saat itu hanya digunakan untuk menghubungkan beberapa node saja dan tidak diprediksikan akan tumbuh secara global seperti sekarang ini. Pada awal tahun 1990-an mulai disadari bahwa internet mulai tumbuh ke seluruh dunia dengan pesat, pada saat itu juga orang-orang mulai menyadari cepat atau lambat alamat ipv4 yang sebesar 32 bit akan semakin terbatas dan sulit didapatkan pada masa-masa mendatang, selain itu internet sekarang ini mulai melewatkan aplikasi multimedia, sehingga ada beberapa masalah timbul pada traffic internet seperti masalah priority, bottleneck, dsbnya. Solusi untuk mengatasi keterbatasan alamat ipv4 ini adalah penggunaan nat (network address translation) dan cidr (classes interdomain routing). Kedua digunakan dalam rangka penggunaan alamat ip secara hemat dan efisien. Namun solusi seperti nat tidaklah menyelesaikan persoalan secara utuh. Ada beberapa hambatan muncul bila menggunakan nat, seperti kesulitan pada aplikasi voip, kesulitan pada aplikasi ipsec, lalu lintas muticast yang tidak dapat melewati nat, dan nat itu sendiri sebagai single failure box dimana bila mesin penyedia nat rusak maka semua koneksi client dengan internet menjadi terputus.
Alasan utama untuk mulai beralih ke ipv6 adalah terbatasnya ruang pengalamatan. Padamasa sekarang ini bukan komputer saja yang terhubung ke internet namun peralatan sehari-hari seperti telepon seluler, pda, home appliances, dan sebagainya juga terhubungkan ke internet, dapatkan anda bayangkan seberapa banyak alamat ip yang dibutuhkan untuk menghubungkan semua itu ke internet. Diperkirakan pada 1 sampai 7 tahun kedepan merupakan masa transisi dari ipv4 ke ipv6. Secara eksplisit berdasarkan kesepakatan ietf memang tidak ada tanggal pasti kapan umur ipv4 akan berakhir, namun masa transisi dari ipv4 ke ipv6 merupakan proses yang bertahap dan selama transisi harus ada jaminan bahwa proses tersebut tidak mengganggu aktifitas internet.
B. Internet protokol versi 6 (ipv6)
Internet protokol versi 6 (ipv6) terkadang disebut dengan nama next generation internet protocol merupakan protokol dari hasil pengembangan ipv4. Penggunaan ipv6 kali pertama direkomendasikan pada tanggal 25 juli di toronto pada saat pertemuan internet engineering task force(ietf). Perancangan ipv6 dilatarbelakangi oleh keterbatasan pengalamatan pada ip versi sebelumnya yaitu ipv4 yang saat ini memiliki panjang 32 bit dan dirasa tidak dapat menangani seluruh pengguna internet dimasa depan akibat dari pertumbuhan jaringan khususnya internet. Menurut situs http://www.economist.com/science/tq/ displaystory.cfm?story_id=11482493 mengatakan pada tahun 2008 pengunaan ipv4 di jaringan internet mendekati nilai 85% dan jika perkembangan ini terus berlanjut, akan menyebabkan persediaan ipv4 akan habis pada tahun 2011.
Untuk format penulisan ipv6, address sepanjang 128 bit dibagi ke dalam 8 bagian masing-masing bagian dikonversi ke 4-digit nomor heksadesimal dan dipisahkan denga tanda titik-dua( : ) untuk tiap bagian, sedangkan panjang prefix(0-12 dipisahkan dengan tanda( / ).
Ipv6 memiliki beberapa fitur dibandingkan dengan ipv4. Adapun fitur yang terdapat pada ipv6 adalah :
1. Otomatisasi berbagai setting,
Alamat pada ipv4 pada dasarnya statis terhadap host. Biasanya diberikan secara berurut pada host. Saat ini hal tersebut bisa dilakukan secara otomatis dengan menggunakan dhcp (dynamic host configuration protocol), tetapi hal tersebut pada ipv4 merupakan fungsi tambahan saja, sebaliknya pada ipv6 fungsi untuk men-setting secara otomatis disediakan secara standar . Pada setting otomatis ini terdapat dua cara tergantung dari penggunaan address, yaitu setting otomatis stateless (tidak perlu menyediakan server untuk pengelolaan dan pembagian ip address) dan statefull (diperlukan server untuk pengelolaan keadaan ip address).

2. Format header baru,
Header ipv6 memiliki format baru yang dirancang untuk menjaga overhead header ke nilai minimum. Hal ini diwujudkan dengan memindahkan field-field opsional dan non-esensial ke extension header yang ditempatkan setelah header ipv6 itu sendiri. Sehingga membuat lebih efisien diproses pada router-router perantara.

3. Ruang alamat ip yang besar ,
Alamat ipv6 memiliki ukuran 128 bit, baik alamat sumber maupun alamat tujuan. Meskipun dengan ukuran 128 bit dapat memberikan peluang kombinasi sebanyak 3,4×1038 , ruang alamat ipv6 telah dirancang untuk mengizinkan multi-level subnetting dan alokasi alamat dari suatu backbone internet ke subnet-subnet individual dalam sebuah organisasi. Dengan begitu besarnya jumlah alamat yang tersedia, teknik-teknik konversi alamat seperti nat menjadi tidak dibutuhkan.

4. Dukungan keamanan yang built-in,
Suite protocol ipv6 memberikan dukungan penuh untuk ipsec. Fitur ini menawarkan solusi yang reliable untuk keamanan jaringan, dan menjamin interoperability di antara implementasi-implementasi ipv6 berbeda.

5. Dukungan qos yang lebih baik,
Field-field baru dalam header ipv6 menetapkan bagaimana trafik-trafik ditangani dan diidentifikasi sehinggan dukungan qos mudah diwujudkan.

6. Protokol baru (neighboring node),
Merupakan sebuah seri pesan-pesan internet control message protocol for ipv6 (icmpv6) yang berperan mengelola interaksi-interaksi di antara node-node neighbor (neighboring nodes) atau node-node dalam link yang sama.

7. Ekstensibilitas,
Ipv6 dapat mudah memperluas fitur-fitur barunya dengan cara menambahkan header-header tambahan (extension header) setelah header ipv6 utama. Selain adanya fitur-fitur baru, ipv6 juga dirancang untuk memperbaiki perbaikan terhadap struktur header pada ipv4, dimana ada field-field pada ipv4 yang dibuang dan beberapa lainnya digantika dengan field baru, diantaranya :

8. Header length
Field header length dibuang karena tidak berperan lagi dalam header dengan ukuran panjang tetap.

9. Identification, flags, dan fragment offset
Field identification, flags, dan fragment offset (dalam ipv4 header) ketiganya berperan dalam fragmentasi paket, dimana paket yang dikirimkan dibagi menjadi potongan-potongan kecil, namun jika ternyata salah satu paket mengalami error, keseluruhan transmisi harus dibentuk ulang. Pada ipv6, penanganan seperti ini dilakukan host-host dengan mempelajari dengan mempelajari ukuran path maximum transmission unit (mtu) melalui prosedur yang dinamakan path mtu discovery.

10. Header checksum
Field header checksum dihapus untuk meningkatkan kecepatan.

11. Type of service
Field type of service digantikan dengan trafficclass. Field type of service ini digunakan untuk merepresentasikan tipe layanan bersangkutan, reabilitasnya, waktu ¬delay , atau keamanan.
Secara umum karakteristik model pengalamatan pada ipv6 memiliki dasar yang sama dengan pengalamatan ipv4. Berikut adalah karakteristik model dari pengalamatan dari ipv6:

12. Fungsi inti Dari Pengalamatan
Dua fungsi utama dari pengalamatan adalah network interface identification dan routing. Routing merupakan suatu kemudahan untuk melakukan proses struktur dari pengalamatan pada internework.

13. Pengalamatan Layer Jaringan
Pengalamatan ipv6 masih berhubungan satu dengan lainnya dengan network layer pada jaringan tcp/ip dan langsung dari alamat data link layer.

14. Jumlah Pengalamatan Ip Per Device (Alat)
Pengalamatan biasanya digunakan untuk menandai perangkat jaringan , sehingga setiap computer yang terhuung biasanya akan memiliki satu alamat, dan router memiliki lebih dari satu alamat untuk masing-masing physical network yang terhubung.

15. Address Interpretation and Prefix Representation
Alamat ipv6 memiliki kesamaan kelas dengan alamat ipv4 dimana masing-masing memiliki bagian network identifier dan bagian host identifier.

16. Alamat Publik dan Privat
Kedua tipe dari alamat tersebut terdapat pada ipv6, walaupun kedua tipe tersebut di definisikan dan digunakan untuk keperluan yang berbeda.
Seperti diketahui sebelumnya, ipv6 diciptakan untuk menangani masalah-masalah yang terdapat pada ip, akan tetapi perubahan dan penambahan pada ipv6 tersebut dibuat tanpa melakukan perubahan pada inti sebenarnyadari ip itu sendiri. Pengalamatan merupakan perubahan yang mencolok yang dapat dilihat dari perbedaan antara ipv6 dengan ipv4, akan tetapi perubahan tersebut merupakan hal bagaimana pengalamatan tersebut diimplementasikan dan digunakan. Salah satu perubahan penting yang terdapat pada model pengalamatan dari ipv6 adalah tipe alamat yang didukungnya. Pada ipv4 hanya mendukung tiga tipe alamat seperti unicat, multicast dan broadcast dengan actual traffic yang paling banyak digunakan adalah alamat unicast. Pada ipv6 juga memiliki tiga tipe alamat seperti ipv4 hanya saja dengan beberapa perubahan , yaitu unicast, multicast dan anycast. Selain itu ipv6 juga memiliki satu tipe alamat lagi yang digunakan untuk keperluan dimasa yang akan dating yang dinamakan dengan reserved.

17. Alamat unicast
Alamat ini digunakan untuk komunikasi satu lawan satu dengan menunjuk satu host. Alamat unicast terbagi menjadi empat bagian yaitu :
a. Alamat global. Alamat yang digunakan misalnya untuk keperluan alamat geografis.
b. Alamat link local adalah alamat yang dipakai dalam satu link.
c. Site local, yaitu alamat yang setara dengan alamat private, yang dipakai terbatas didalam site saja. Alamat ini dapat diberikan bebas namun memiliki cirri khas unik didalam site tersebut serta alamat ini tidak dapat mengirimkan paket dengan tujuan alamat diluar dari site tersebut.
d. Compatible.

18. Alamat multicast
Alamat ini digunakan untuk komunikasi satu lawan banyak dengan menunjuk host dari group. Alamat multicast pada ipv4 didefinisikan sebagai kelas d, sedangkan pada ipv6 ruang yang 8 bit pertamanya dimulai denga “ff” disediakan untuk alamat multicast.

19. Alamat anycast
Alamat ini digunakan ketika suatu paket harus dikirimkan ke beberapa anggota dari grup dan bukan mengirimkan ke seluruh anggota dari grup atau dapat dikatakan menunjuk host dari group.
Semakin panjang alamat ip maka semakin banyak ruang alamat yang tersedia untuk pemakainya. Seperti yang telah diketahui bahwa jumlah alamat ipv4 tergolong sangat kecil untuk mendukung teknologi internet dimasa yang akan datang dimana hal ini merupakan implikasi dari bagaimana alamat internet tersebut digunakan. Pada ipv4 , alamat ip memiliki panjang 32 bit yang dibagi menjadi 4 bagian octet yang masing-masing octet terdiri dari delapan bit. Sehingga jika diasumsikan semua alamat digunakan seluruhnya, maka jumlah alamat yang tersedia sebanyak 232 atau sama dengan 4.294.967.296 alamat. Berbeda dengan ipv6 yang menggunakan ukuran sebesar 128 bit yang dibagi menjadi delapan blok 16-bit. Sama seperti ipv4, jika diasumsikan semua alamat digunakan seluruhnya maka maka jumlah yang didapat 3,4 x 1038. Perubahan yang lain terdapat pada penulisan alamat ip, dimana telah diketahui bahwa alamat ipv4 direpresentasikan dalam format dotted-decimal (untuk gambar lihat pada lampiran).
Untuk ipv6, alamat sebesar 128 bit dibagi kedalam delapan blok 16 bit, dimana masing-masing blok dikonversi ke empat digit nomor heksadesimal dan dipisahkan dengan tanda titik dua (“:”) . Hasil representasi dinamakan dengan colon-hexadecimal (untuk gambar lihat pada lampiran)..
Pada pengalamatan ipv6, ada suatu teknik lain yang bisa digunakan untuk memperpendek penulisan alamat ipv6 setelah melalui notasi heksadesimal. Teknik tersebut dinamakan kompresi nol (zero compression). Dengan teknik ini dimungkinkan untuk mengganti bilangan heksadesimal yang merepresentasikan nol kedalam dua karakter titik dua (“::”).
Tabel. Penggunaan alternatif kompresi nol

Selain dua teknik sebelumnya, terdapat satu teknik lagi yang merupakan salah satu satu untuk menggabungkan pengalamatan ipv6 seperti terlihat menyerupai pengalamatan pada ipv4. Teknik ini menggabungkan 96 bit pertama dari alamat ipv6 yang menggunakan notasi heksadesimal serta titik dua dengan 32 bit terakhir yang menggunakan notasi dotted decimal.
Sebagai contoh dengan menggunakan notasi gabungan, maka alamat ipv6 menjadi 2002:ca78:7801::2002:202.120.120.
Sama halnya dengan kelas alamat ipv4., alamat ipv6 dibagi menjadi jumlah bit network identifier diikuti dengan jumlah bit host identifier. Prefix pada ipv6 merupakan sebutan dari network identifier, sedangkan prefix length merupakan banyaknya bit angka yang digunakan. Prefix biasanya direpresentasikan dengan penambahan karakter garis miring setelah alamat ipv6. Metode tersebut sama digunakan pada penambahan prefix pada ipv4.
Tahun 2006 merupakan tahun penting bagi ipv6, dengan berakhirnya jaringan percobaan -bone, penutupan resmi proyek kame di jepang, dan berakhirnya layanan pengembalian dns ip6.int. Di akhir tahun 2006, icann mengumumkan bahwa lembaga itu telah meratifikasi kebijakan global yang dikembangkan di dalam komunitas rir untuk mengubah rincian dari alokasi ipv6 iana menjadi rir. Pada tahun 2006, apnic membuat 41 alokasi ipv6, dengan total 3226 /32. Jepang, korea, dan australia merupakan pemegang jumlah terbesar alamat ipv6 di wilayah ini.



[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Perbedaan KBps dengan Kbps ! Penting Untuk Diketahui


PENTING ! anda Ketahui disinilah banyak persepsi salah! sebenarnya antara KBps dan Kbps adalah beda, memang dalam pengucapan banyak yang sama. Pada dasarnya KBps dan Kbps merupakan satuan yg sangat berbeda.

Pernah liat kan iklan promosi para ISP (Speedot, IM*, atau Tel*sel Flash) yg menawarkan speed inet mulai up to 128 Kbps - 7.2 Mbps??
Tapi kenapa pas donlot real gak prnah dapet segitu ya??
kenapa gtu ??

Berikut penjelasan detailnya:

* KBps (Kilobyte per second)
* Kbps (Kilobit per second)

Konversi 1 byte = 8 bit


Untuk mengetahui speed download realnya, gampangkan, tinggal dibagi aja speed yg d kasih ISP dgn angka 8 (Delapan)

Berikut listnya:
128 Kbps: 128/8= 16 KBps
256 Kbps: 256/8= 32KBps
384 Kbps: 384/8= 48 KBps
512 Kbps: 512/8= 64 KBps
1 Mbps : 1024/8= 128 KBps


Hal ini sering menimbulkan pertanyaan “katanya 256 kbps kok dapatnya waktu download cuman 32 KBps ?
Kalau dijabarkan, jika 1 Byte = 8 bit artinya bila berlangganan 1 Mbps Dedicated dan dapatnya adalah 128 KBps x 8 = 1024 Kbps / 1 Mbps

Jika kecepatan 256 kbps maka yang didapat adalah 256/8= 32 KBps
Jika kecepatan 384 kbps maka yang didapat adalah 256/8= 48 KBps

Begitu juga sebaliknya untuk mengetahui berapa bandwidth yang didapat dari provider dengan melihat satuan yang didapat dari download misal :

Jika tertera 10kBps maka kecepatan yang di dapat dari provider adalah 10X8=90kbps
Jika tertera 20kBps maka kecepatan yang di dapat dari provider adalah 20X8=160kbps
Tetapi kecepatan tersebut tidak bisa menjadi patokan 100%, karena biasanya pada saat download kita juga melakukan browsing, chatting atau bahkan melakukan download file yang lainnya.

Misalnya kita punya handppone 3,5G yang konon bisa dengan kecepatan 3,2 Mbps (Mega bit per second) artinya sama dengan 3,2 Mbps dibagi 8 = 400 KBps ( Kilo bytes)

Sebagai contoh lain dengan acuan 1 Byte = 8 bit, maka :
256 kbps sama dengan 258/8 = 32 KBps
1 Mbps Dedicated sama dengan 128 KBps x 8 = 1024 Kbps / 1 Mbps

Coba ukur speed / bandwith internetmu sekarang biar tidak bingung lagi!

Oh ia , penting diketahui sebab banyak provider2 yg menipu menggunakan atas nama KBps dan Kbps . .so agan skrng agan udah tau dan gag bakall tertipu lag
Sumber yang mndukung : www.Kaskus.us

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan


Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?

Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).


إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah. (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari. (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)


لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari. (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).


لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari. (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di-shahih-kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)


إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.”[1]

Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:


تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.

Dari Ibnu Abbas bahwa:


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya

Tidak Terikat Dengan Mathla'

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:


أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. (HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:


أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]

Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]

Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:


غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya. (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:


جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].

Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Jakarta tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.

Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener¬apkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim¬in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:


وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

WaLlâh a’lam bi al-shawâb. [tsaqafah/syabab.com]

________________________________________
[1] al-Nawawi, al-Majmû’Syarh al-Muhadzdzab,6/269
[2] Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[3] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Shalâh, 28; Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[4] al-Syaukani, Nayl al-Awthâr,7/25
[5] Dalil syara yang mu’tabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.
[6] al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, jld. 2/364.
[7] al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, 1/329
[8] Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fath al-Bârî; Bab Shiyâm.
[9] Al-Shan’ani, Subul al-Salâm, jld. 2, hal. 310.
[10] al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân, 1/210
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368.
[12] al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhâhib al-Arba’ah, 1/550
[13] al-Qurthuby, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/296.
[14] al-Hashfaky, “al-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr”, 2/131-132
[15] Mughn al-Muhtâj, 2/223-224
[16] al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218.
[17] Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 25/104-105

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook

Khutbah Rosulullah SAW Menyambut Ramadhan


Salman ra. menuturkan riwayat sebagai berikut: Pada hari terakhir bulan Sya'ban, Baginda Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan kami, “Wahai manusia, kini telah dekat kepada kalian satu bulan yang agung, bulan yang sarat dengan berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) daripada seribu bulan. Inilah bulan yang di dalamnya Allah menetapkan puasa di siang harinya sebagai kewajiban dan shalat tarawih di malam harinya sebagai sunnah. Siapa saja yang mendekatkan dirinya kepada Allah pada bulan ini dengan amalan-amanal sunnah maka pahalanya seperti dia melakukan amalan-amalan fardhu di bulan yang lain. Siapa saja yang melakukan amalan-amalan fardhu di bulan ini maka dia akan dibalas dengan pahala seperti dia melakukan amalan fardhu ini tujuh puluh kali di bulan-bulan yang lain. Inilah bulan kesabaran dan balasan kesabaran yang sejati adalah surga. Bulan ini juga merupakan bulan simpati kepada sesama. Pada bulan ini rezeki orang-orang beriman ditambah. Siapa saja yang memberi makan orang untuk berbuka puasa maka baginya adalah ampunan atas dosa-dosanya, pembebasan dirinya dari neraka Jahanam dan pahala sebesar pahala orang yang berpuasa tanpa sedikit pun mengurangi pahala orang yang berpuasa itu.”
Kami berkata, “Ya Rasulullah, tidak semua orang dari kami mempunyai sesuatu yang dapat diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”
Rasulullah SAW menjawab, “Allah akan melimpahkan karunia ini kepada seseorang yang memberi makan orang yang berbuka puasa meski hanya dengan sebiji kurma, seteguk kurma, atau seisap air susu. Inilah bulan yang sepuluh hari pertamanya adalah rahmat, sepuluh hari pertengahannya ampunan dan sepuluh hari terakhirnya pembebasan dari neraka Jahanam. Siapa saja yang meringankan beban hamba sahayanya di bulan ini, Allah akan mengampuninya dan membebas-kannya dari api neraka. Perbanyaklah di bulan ini empat perkara. Dua perkara dapat mendatangkan keridhaan Allah, yaitu hendaklah kalian memperbanyak kalimah-kalimat thayibah dan istigfar. Dua perkara lagi pasti kita butuhkan, yaitu hendaknya memohon kepada Allah surga dan berlindung kepada-Nya dari neraka Jahanam…” (HR Ibn Khuzaimah).
Paling tidak, ada tiga pesan inti dari khutbah Baginda Nabi SAW di atas.Pertama: bulan Ramadhan menuntut kita untuk semakin meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dengan amalan-amalan shalih, yang fardhu maupun yang sunnah. Yang fardhu tentu saja puasa dan amalan-amalan lain yang tidak boleh ditinggalkan meski di luar bulan Ramadhan seperti shalat lima waktu, menuntut ilmu, berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, berbakti kepada orang tua, berjuang menegakkan syariah dan Khilafah, dll. Yang sunnah adalah seperti shalat malam, tilawah Alquran, ber-sedekah dll.
Kedua: memperbanyak doa serta memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah dari azab neraka Jahanam.
Ketiga: bersimpati kepada orang lain meski dengan sekadar memberi makan orang yang berbuka puasa dengan seteguk air atau sebiji kurma. Kondisi kekurangan tidak menjadi alasan untuk berbagi dengan orang lain. Para Sahabat Nabi telah memberikan teladan yang baik dalam hal ini. Dalam sebuah riwayat terkenal, Abu Jahm ra bertutur bahwa saat berlangsung Perang Yarmurk, ia pergi mencari sepupunya yang ikut berperang sambil membawa air dalam sebuah kantong kulit untuk minum dan mem-basuh lukanya sekiranya ia masih hidup. Secara kebetulan, ia menemukan sepupu-nya tergeletak bersimbah darah. Saat ia ditanya apakah perlu air, ia menjawab, “Ya.” Namun, tak lama kemudian terdengar suara orang mengerang dari tempat tidak jauh dari mereka. Sepupu Abu Jahm pun menunjuk ke arah suara itu dengan maksud agar Abu Jahm memberikan terlebih dulu air kepada orang itu yang memang sedang sangat kehausan. Baru saja Abu Jahm mau memberi minum orang itu, tiba-tiba terdengar suara lain yang juga mengerang. Orang kedua ini pun segera memberikan isyarat kepada Abu Jahm agar memberi minum terlebih dulu orang yang barusan mengerang itu. Dengan cepat Abu Jahm menghampiri orang ketiga yang juga sedang terluka itu untuk memberinya minum. Belum sempat Abu Jahm memberinya minum, orang itu keburu meningggal. Abu Jahm segera kembali menuju orang kedua. Namun, orang kedua pun ternyata sudah meninggal. Segera Abu Jahm mengham-piri kembali sepupunya. Namun, sepupu-nya pun telah syahid lebih dulu.
Semoga pesan-pesan Baginda Nabi SAW—juga teladan para Sahabat di atas—betul-betul bisa kita realisasikan, di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Amin

[+/-] Selengkapnya...


This share facebook