Sponsored Ads

Makna Kebangkrutan Amerika

Oleh: Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI
Pengantar

Pada 8 Oktober 2005, di hadapan rakyat Amerika Serikat, Presiden George W Bush mengungkapkan kekhawatirannya atas kebangkitan Islam yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia. Kebangkitan yang sangat ditakuti itu adalah tegaknya sistem Islam yang mengatur dan mengurus kaum muslim dengan aturan-aturan dan hukum Allah SWT. Bush mengatakan:

“The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate government in the region, and establish a radical Islamic empire that span from Spain to Indonesia.”[1]

Tiga bulan sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyerang kaum Muslim sedunia dengan menyebut ajaran Islam seperti jihad dan kesatuan ummat sebagai “ideologi jahat” (the ideology of evil).[2] Pada 6 Oktober 2005, Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke di Heritage Foundation menyatakan sikap tidak akan memberikan kesempatan diterapkannya Syariah Islam dan tegaknya sistem Khilafah. Clarke mengatakan:

“… there can be no negotiation about the recreation of the Caliphate. There can be no negotiation about the imposition of Shariah law …”[3]

Cukup banyak ungkapan-ungkapan para pemimpin Barat yang menyatakan kebencian terhadap Islam dan upaya mereka untuk menenggelamkan Islam. Karena itulah Barat melakukan war on terror, menundukkan penguasa negeri-negeri muslim, dan meliberalkan agama yang telah dipeluk ummat.

Namun upaya tersebut sia-sia. Sebab di balik propaganda mereka terhadap Islam, Barat melupakan kerapuhan ideologi Kapitalisme. Kapitalisme yang dibangun dengan asas Sekularisme merupakan ideologi yang bersifat self-destructive (menghancurkan dirinya sendiri).

Kebangkrutan Finansial

Dua tahun setelah serangan opini Bush-Blair terhadap Syariah dan Khilafah, sistem keuangan AS dan Inggris menghadapi goncangan berat. Pertengahan 2007 perekonomian AS dan negara-negara Barat mulai menghadapi masa suram dengan krisis kredit (credit crunch) yang menelan kerugian ratusan milyar dollar dan menyebabkan kebangkrutan korporasi finansial.

Pada permulaan tahun 2008 Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan terjadinya kegentingan pasar kredit di negara-negara maju. Kondisi kegentingan ini menenggelamkan indeks bursa efek dunia ke tingkat yang paling rendah sejak 2001.[4] Selama Januari 2008, pasar modal dunia kehilangan nilai kapitalisasinya sebesar US$ 5,2 trilyun[5] atau Rp 49.400 trilyun. Kerugian ini setara dengan 54 kali penerimaan APBN-P Indonesia 2008.

Meskipun dana ratusan milyar dollar telah digelontorkan oleh bank sentral Barat termasuk Jepang, dan bank yang bangkrut telah dinasionalisasi, krisis kredit tidak dapat dihentikan. IMF memperkirakan potensi kerugian krisis kredit (credit crunch) mencapai US$ 1 trilyun (Rp 9.500 trilyun) atau lebih.[6] Bahkan IMF menyatakan krisis kredit telah membawa AS kepada goncangan krisis keuangan yang terbesar sejak Depresi besar (Great Depression) 1929.[7]

Kini perhatian dunia terpusat ke pasar modal. Indikator-indikator finansial menunjukkan suasana yang kelam bagi negara-negara dunia khususnya Amerika Serikat. Kebangkrutan besar-besaran sedang berjalan. Tidak hanya melanda AS tapi juga seluruh dunia khususnya Eropa dan Jepang.

Bangkrutnya Lehman Brothers (10/09/2008) dengan nilai kerugian US$ 3,9 milyar menyeret kehancuran perusahaan asursansi terbesar AS American International Group (AIG). Kebangkrutan ini menimbulkan efek berantai. Para investor tidak percaya lagi dengan ketangguhan sistem keuangan AS. Hal ini menyebabkan penjualan besar-besaran surat-surat berharga di pasar modal Wall Street. Akibatnya kejatuhan pasar modal Amerika berimbas pada kejatuhan pasar modal di seluruh dunia. Rata-rata pasar modal dunia kehilangan nilai antara 30% hingga 60% dalam satu tahun terakhir.[8]

Krisis pasar modal semakin memperparah krisis kredit. Trilyunan dollar AS dikucurkan hanya untuk menunda waktu kebangkrutan. Bukan untuk menyelesaikan masalah. Kapitalisme yang sangat membenci intervensi negara dalam perekonomian (laissez faire) terpaksa menasionalisasi korporasi finansial dan membayar hutang swasta (bail out) secara besar-besaran. Dengan ini Kapitalisme terpaksa melacurkan ideologinya. Betapa bobrok dan rapuhnya sistem keuangan yang ditopang riba dan judi.

Di AS, pemerintahan Bush memaksa rakyat Amerika membayar hutang-hutang perbankan sebesar US$ 700 milyar atau setara Rp 6.650 trilyun. Hutang yang tentunya tidak pernah dilakukan dan dinikmati rakyat. Tidak hanya itu, Bush juga menambah beban rakyat dengan program rekapitalisasi perbankan senilai US$ 250 milyar (Rp 2.375 trilyun) dan pembelian aset-aset bank US$ 100 milyar (Rp 950 trilyun). Semuanya harus didanai rakyat AS untuk membayar keserakahan para investor. Belum lagi dana US$ 900 milyar (Rp 8.550 trilyun) yang digelontorkan bank sentral AS The Federal Reserve untuk melakukan intervensi pasar, yang pasti dapat memicu inflasi.[9]

Di Eropa, pemerintah Inggris mengeluarkan dana rakyat sebesar £ 500 milyar untuk rencana penyelamatan sistem keuangan mereka. Sebesar £ 119 milyar atau US$ 215 milyar (Rp 2.042,5 trilyun) dihabiskan untuk menasionalisasi bank nasional Inggris Northern Rock yang sudah bangkrut. Negara perekonomian terbesar ketiga dunia, Jerman harus mengeluarkan dana €400 milyar untuk menjamin perbankannya dan €100 milyar untuk program rekapitalisasi.

Amerika tidak Lagi Adi Daya

Krisis kredit yang melahirkan krisis finansial secara lebih luas telah menggerogoti status AS sebagai negara adidaya. Hal ini diakui kandidat wakil presiden partai Demokrat Joe Biden yang menyatakan krisis finansial menggerogoti kemampuan AS dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara lain.[10] Padahal selama ini hutang telah menjadi senjata utama AS di luar metode perang untuk menundukkan negara-negara lain.

Seruan AS agar dunia bersatu menghadapi krisis finansial pun ditolak. Jerman dan negara-negara anggota G-7 lainnya menolak permintaan AS untuk memborong saham-saham bank bermasalah akibat krisis kredit. Jerman mengecam sistem keuangan dunia yang didominasi AS dan Inggris.[11] Di hadapan parlemen Jerman, Menteri Keuangan Peer Steinbrueck menyatakan AS akan kehilangan statusnya sebagai negara superpower dalam sistem keuangan global.[12]

Sebelum krisis finansial separah September-Oktober tahun ini, sekitar akhir Maret, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva menelpon Bush dan menyatakan kecamannya terhadap kelaliman AS dalam perekonomian dunia. Ia mengatakan: “Begini ya nak, Negara Brazil selama 26 tahun tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dan saat ini kami sudah mulai tumbuh. Sekarang kamu menginginkan kita menghambatnya? Urusi saja krisismu sendiri!”.[13]

Dalam sidang Majelis Umum PBB akhir bulan lalu, para pemimpin dunia menyatakan kejengkelannya terhadap Amerika, karena krisis finansial AS mengancam kesinambungan perekonomian negara mereka. Dunia telah beropini AS dengan sistem Kapitalismenya telah menjadi sumber malapetaka. Mantan pejabat Departemen Keuangan AS, Brad Setser menyatakan krisis telah mengubah persepsi dunia dan merusak kredibelitas AS. ”Jelas, ini adalah sebuah hal mengejutkan dan juga menggoyahkan posisi AS di dunia,” katanya.[14]

Pada 24 September, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menyatakan dalam Sidang Majelis Umum PBB bahwa dominasi Amerika Serikat akan segera selesai. “Kerajaan Amerika di seluruh dunia sudah mendekati ujung jalan. Dan AS harus membatasi intervensinya militernya di luar kewenanangannya,” kata Ahmadinejad.[15] Dua minggu kemudian Ahmadinejad menyatakan krsisis finansial sebagai akhir Kapitalisme.[16]

Pada 25 April 2008, di CNBC Peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stigliz sudah menyatakan AS memasuki era ekonomi yang paling buruk sejak Depresi Besar 1929. Resesi yang panjang.[17] Martin Feldstein Ekonom Universitas Harvard yang juga Presiden Biro Nasional Riset Ekonomi AS (NBER), pada pertengahan Maret 2008 menilai ekonomi AS telah memasuki resesi yang paling parah sejak Perang Dunia II.[18]

Washington Post edisi 10 Oktober 2008 menurunkan sebuah artikel yang berjudul The End of American Capitalism? Artikel yang ditulis oleh Anthony Faiola tersebut mengutip pemikiran Joseph Stigliz. Stigliz memperingatkan negara-negara yang selama ini mengagumi model ekonomi Kapitalisme Amerika harus siap menghadapi kehancuran ekonomi. Kabangkrutan dan nasionalisasi parsial sejumlah bank di AS, merupakan tanda-tanda kematian sistem Kapitalisme AS. Stigliz mengatakan:

“People around the world once admired us for our economy, and we told them if you wanted to be like us, here’s what you have to do — hand over power to the market… The point now is that no one has respect for that kind of model anymore given this crisis. And of course it raises questions about our credibility. Everyone feels they are suffering now because of us.”

Tumpukan hutang negara menjadikan AS sebagai dengan dengan bangunan yang “lebih besar pasak daripada tiang.” Dalam dua tahun terakhir sebelum kebijakan bail out, hutang negara meningkat 11,74%. Di Awal 2008 hutang pemerintah mencapai US$ 9,575 trilyun atau setara Rp 90.962,5 trilyun sedangkan tahun 2006 hutang AS sudah menggunung sebesar US$ 8,451 trilyun. Dalam jangka waktu tersebut, berarti rakyat AS harus membayar hutang setiap hari sebesar Rp US$ 1,539 milyar atau senilai Rp 14,620 trilyun. Kini hutang pemerintah AS sudah berkembang menjadi US$ 10,2 trilyun.

Setiap tahun APBN AS mengalami defisit khususnya akibat kebijakan war on terror. Dalam APBN 2008, keuangan negara defisit US$ 239 milyar (Rp 2.270,5 trilyun).[19] Peraih Nobel ekonomi 2001, Joseph Stigliz dalam buku barunya memperkirakan biaya perang Irak sudah mencapai US$ 3 trilyun dan bisa membengkak menjadi US$ 5 trilyun atau setara Rp 47.500 trilyun.[20] Sebuah angka sia-sia yang menyebabkan terbunuhnya sekitar 1,2 juta rakyat Irak.[21]

Kondisi terakhir sektor riil AS menggambarkan semakin suramnya masa depan Amerika. Output industri AS September 2008 jatuh 2,8% terendah dalam 34 tahun terakhir.[22] Penjualan retail AS September 2008 pun turun 1,2% dibandingkan Agustus 2008. Penurunan ini merupakan yang terendah dalam tiga tahun terakhir.[23] Di kota terbesar AS, New York, dampak krisis finansial menyebabkan lenyapnya lapangan kerja sebanyak 165 ribu pekerjaan.[24] Belum lagi PHK besar-besaran yang dilakukan industri-industri AS yang terus merugi.

Berdasarkan data-data tersebut, AS bagaikan negara yang sedang menuju kematian. Sistem Kapitalisme telah menyebabkan negara dengan penduduk terbanyak ke tiga dunia tersebut hidup di atas tumpukan hutang. Kekuatan militernya juga bertumpu pada hutang. Hanya tinggal masalah kepercayaan (trust) dunia saja yang masih membuat AS bertahan hidup. Kepercayaanlah yang membuat negara-negara dunia masih menerima dollar Amerika Serikat sebagai alat transaksi. Karena kepercayaan itu pula para investor dari seluruh dunia masih mau membeli surat hutang yang diterbitkan pemerintah AS untuk membiayai APBN.

Jika negara-negara anggota OPEC mengubah alat pembayaran transaksi minyak dari dollar AS ke mata uang lain atau dalam bentuk mata uang riil seperti emas dan perak, maka AS benar-benar terpuruk dalam kehancuran. Atau jika negara-negara di dunia memandang mata uang dollar AS tidak memiliki nilai yang kuat sehingga mereka tidak menerima pembayaran impor Amerika dengan dollar, maka negara ini tidak akan dapat menghidupi dirinya lagi. Sebab selama ini Amerika mengimpor barang dari seluruh dunia melebihi kekuatan ekonominya sendiri dengan mengandalkan pencetakan mata uang dollar.

Jika negara-negara pemberi pinjaman menarik dananya dari obligasi pemerintah federal Amerika, maka niscaya AS tidak akan mampu membayarnya. Hutang terbesar Amerika terhadap Jepang mencapai US$ 571,2 milyar, terhadap China US$ 405,5 milyar, terhadap Inggris US$ 299,7 milyar, terhadap Brazil US$ 128,8 milyar, dan negara-negara pengekspor minyak mencapai US$ 126,7 milyar.[25]

Dunia Membutuhkan Khilafah

Kapitalisme telah kehilangan moral untuk menyatakan dirinya sebagai ideologi yang benar dan mampu mengangkat kesejahteraan manusia. Sebab ditinjau dari aspek manapun Kapitalisme merupakan ideologi yang bangkrut. Baik dilihat dari sisi asas sekularisme yang menenggelamkan fitrah manusia untuk beragama dan beribadah dengan benar kepada Allah SWT, maupun dari aspek kekinian. Aspek kekinian sudah menggambarkan negara pimpinan Kapitalisme sudah berada dalam proses kebangkrutan. Sedangkan aspek kemanusiaan secara global menunjukkan betapa jahatnya ideologi ini terhadap umat manusia.

Secara konsep ideologi ini di samping batil dari sisi Islam, juga batal dengan adanya intervensi pemerintah membailout dan merekapitalisasi perbankan di negara-negara Barat. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy menyatakan era sistem yang tanpa regulasi telah berakhir.[26] Ide free market dan laissez faire dalam ideologi Kapitalisme benar-benar mengalami kebuntuan sejarah. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan perlunya sistem keuangan global yang baru untuk mengganti sistem Bretton Woods yang sudah 64 tahun tegak.[27] Negara-negara Kapitalis dan para pendukungnya harus jujur mengakui kebangkrutan ide Kapitalisme sehingga tidak layak sistem ini dipertahankan.

Dalam aspek kemanusian, selama satu abad terakhir Kapitalisme berkuasa umat manusia semakin menderita. Kemajuan teknologi tidak memiliki manfaat yang cukup banyak untuk mengangkat harkat kemanusiaan ke tingkat yang lebih baik. Justru teknologi dijadikan senjata pemusnah massal dan alat untuk menguasai sumber daya alam negara-negara dunia ketiga.

Situasi kemanusiaan global memperlihatkan hampir separo penduduk dunia (3 milyar jiwa) hidup dengan pengeluaran sehari di bawah US$ 2,5 dan 80% umat manusia hidup di bawah US$ 10 per hari. Sebanyak 80% penduduk dunia tinggal di negara-negara dengan tingkat kesenjangan yang sangat lebar. 40% penduduk termiskin dunia hanya dapat menghasilkan 5% pendapatan total dunia. Sedangkan 20% penduduk terkaya dunia menghasilkan pendapatan ¾ dunia. Menurut UNICEF, 26.500 – 30.000 anak-anak dunia setiap harinya mati karena kemiskinan. 80% produksi pangan dunia habis dikonsumsi 20% orang terkaya dunia.[28]

Kapitalisme membuktikan dirinya sebagai ideologi yang tamak. Sebab sistem ini mendorong segala motif perbuatan dilakukan atas dasar ketamakan (profit oriented) sehingga nilai-nilai kemanusian pun hampir hilang apalagi nilai-nilai ruhiyah. Peraih Nobel Ekonomi dari Banglades, Muhammad Yunus menyatakan ketamakan Kapitalisme menjadi bahan bakar Kapitalisme. Ketamakan ini pula yang menyebabkan Kapitalisme mengadopsi riba dan judi sebagai basis transaksi ekonomi. Akibatnya sistem keuangan dunia telah berubah menjadi kasino.[29]

Krisis finansial AS menunjukkan sistem Kapitalisme mengeksploitasi orang-orang miskin Amerika sebagai sumber keuntungan. Orang-orang miskin diberikan pinjaman untuk memiliki rumah (kredit subprime mortgage) dengan bunga yang tinggi sehingga sudah pasti mereka akan sangat kesulitan membayar cicilannya. Hutang-hutang orang miskin itu pun kemudian diperdagangkan di pasar modal sehingga nilainya menggembung (bubble) 15 kali lipat dari nilai hutang sebenarnya. Penggembungan hutang inilah yang menjadi sumber keuntungan para investor pasar modal. Penggembungan hutang ini juga yang menjadi sumber malapetaka AS ketika orang-orang miskin AS yang tidak mampu melunasi hutangnya sangat banyak jumlahnya.

Kematian Kapitalisme sudah di ambang mata. Inilah yang menjadi kegalauan para pemimpinan Barat sehingga mereka menyatakan kekhawatirannya terhadap Islam, khususnya Islam yang diformalisasikan menjadi institusi dan perundang-undangan.

Pada akhir 2004, National Intellligende Council (NIC) Amerika Serikat mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Mapping the Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project. Dalam dokumen tersebut, NIC menyatakan kemungkinan munculnya Khilafah yang menjadi institusi kaum Muslim sedunia.[30]

Seiring dengan kekhawatiran Barat terhadap Islam, ghirah kaum Muslim untuk menjadikan Islam sebagai sumber nilai dan tata aturan hidup semakin nampak. Sebuah polling di enam negara Arab yang hasilnya dipublikasikan 9 November 2005 menunjukkan keinginan diaplikasikannya Syariah Islam dalam kegiatan bisnis.[31] Pada 29 Januari 2007, koran Inggris Guardian mempublikasikan hasil polling yang menyatakan semakin banyak kaum muda Islam yang ingin kembali ke Syariah.[32]

Kemudian Universitas Maryland mengeluarkan laporan yang berjudul Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al-Qaeda. Laporan ini merupakan hasil jajak pendapat di empat negeri Muslim, yaitu Maroko, Mesir, Pakistan, dan Indonesia yang dilakukan antara 9 Desember 2006 hingga 15 Februari 2007. Hasilnya 65,2% kaum Muslim menginginkan bersatunya seluruh umat Islam di dalam satu institusi Khilafah.[33] Polling terbaru di Indonesia yang dilakukan oleh Roy Morgan Research antara Juli 2007 hingga Maret 2008 menggambarkan mayoritas muslim Indonesia menginginkan diterapkannya Syariah Islam. [34]

Dunia Islam sekarang mulai menggeliat. Mereka menginginkan hidup mulia dalam naungan Islam. Yaitu sistem Khilafah. Khilafah merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang sukses selama 1.300 tahun mengayomi dan mensejahterakan kehidupan umat dengan hukum-hukum Allah SWT.

Penutup

Khilafah adalah sistem warisan Nabi Muhammad SAW untuk menjaga kehidupan kaum Muslim, menegakan Syariah, dan menyebarkan rahmat Allah ke seluruh penjuru dunia. Para ulama dan imam mazhab bersepakat akan kewajiban mengangkat seorang khalifah yang memimpin umat dan menerapkan hukum-hukum Allah.

Dengan Khilafah, sistem ekonomi diatur berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Perekonomian yang eksploitatif berbasis riba dan judi dihapuskan. Perekonomian sektor riil berbasis halal haram digalakkan. Alat pembayarannya dinar dan dirham (mata uang berbasis emas dan perak). Kemudian perekonomian diatur ke dalam tiga hukum kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Sedangkan setiap kebutuhan dasar warga negara dijamin pemenuhannya melalui politik ekonomi ekonomi yang adil. Inilah sistem ekonomi Islam yang akan diterapkan Khilafah.

Keruntuhan Barat dan ghirah umat menjadi tanda Khilafah sebagai realita yang akan muncul kembali. Harapan yang tidak saja berdasarkan kondisi terkini (fakta empiris) tetapi juga berasal dari keimanan. Rasulullah SAW bersabda “…Selanjutnya akan datang suatu kekhalifahan yang berjalan di atas manhaj kenabian” (H.R. Ahmad). Janji Allah SWT pasti terwujud. []

Banjarmasin, 19 Oktober 2008

Hidayatullah Muttaqin adalah Ketua Lajnah Siyasiyah DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Kalimantan Selatan, Direktur Institut Ekonomi Ideologis, dan Pengamat Ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Website Jurnal Ekonomi Ideologis www.jurnal-ekonomi.org

Email muttaqin@jurnal-ekonomi.org


This share facebook

Comments :

0 komentar to “Makna Kebangkrutan Amerika”

Posting Komentar