Sponsored Ads

Seni Komunikasi Ideologis pada Kalangan Terdidik

Nopriadi ST, M.Sc
Staf Pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

”Payung untuk semua muslim di dunia? Menurut saya Khilafah itu utopis!.”
”Sulit terbayang bagaimana sistem ekonomi tanpa interest (riba). Perubahan yang membuat chaos!”
”Gerakan anda tidak realistis!”
”Lebih baik lakukan hal yang riil, bangun ekonomi umat, berdayakan mereka dengan pelatihan aplikatif!”
”Kita tidak berada di ruang kosong. Kita hidup di sebuah negara. You tidak realistis.”

Anda pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti di atas? Nada sesumbang ini kerap muncul di tengah optimisme dan gelora semangat seruan kembali pada kehidupan Islam. Sebagian kalangan, terutama kelompok terdidik (educated people), menilai gagasan back to Islam tidak lebih dari sebuah impian, yang akan berakhir menjadi mimpi. Apatah lagi menyatukan muslim seluruh dunia di bawah payung Khilafah Islamiyah ! Gagasan mulia ini, meski didukung argumentasi nash, masih dilihat sebagai visi yang beraroma utopia bahkan sebagian telah memvonis sebagai visi yang utopis. Isyarat keengganan dari sebagian kalangan terdidik akan semakin jelas tatkala khilafah dengan sistemnya yang canggih dikumandangkan sebagai problem solver satu-satunya atas segala problem kehidupan. Mereka sangat sulit menerima(baca: menangkap) opini yang sering digaungkan oleh para duta Islam secara jernih. Padahal opini ini, Islam is the solution with Calipahte and Syariah, adalah penting untuk membangun kepercayaan diri dan optimisme umat agar mau kembali ke pangkuan Islam secara total.

Tulisan berikut bertujuan untuk menganalisis kesenjangan semangat dan kendala komunikasi yang biasa terjadi dengan kalangan terdidik. Dimulai dengan menganalisis faktor penyebab, kemudian menawarkan strategi komunikasi efektif saat berdialog dengan mereka. Perlu dicatat, kalangan terdidik disini adalah kelompok umat yang memiliki tradisi berpikir ilmiah, memiliki metodologi berpikir ’mapan’ dan selalu bersandar pada fakta empirik. Mereka adalah kalangan profesional seperti para pakar, dosen, pengamat dan peneliti. Termasuk pula para profesional bisnis, entrepreuner, maupun pejabat eksekutif, yudikatif, legislatif, atau siapa saja yang memiliki pola pikir ’mapan’ dalam menyelesaikan problem, baik terkait masalah sosial maupun bidang spesifik yang digelutinya. Secara sosio-ekonomis kalangan ini termasuk masyarakat kelompok menengah ke atas yang posisinya sangat strategis dan signifikan bagi proyek perubahan peradaban.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa diambil manfaat, baik oleh pihak yang terlibat dalam dakwah mulia ini (semoga Allah SWT merahmati anda dalam perjuangan ini), juga untuk kalangan terdidik yang mau mengapresasi semangat dakwah (mudah-mudahan Allah selalu melimpahkan hidayah-Nya kepada anda).



Kendala komunikasi pertama: Lack of Knowledge

Bagi sebagian kalangan terdidik seruan kembali pada kehidupan Islam dengan khilafah dan syariah terkesan sebagai gagasan bombastis, melebih-lebihkan (hyperbolic) dan produk berpikir meloncat (logical jumping). Kesan ini sering muncul ketika edukasi dan opini kecanggihan sistem Islam diartikulasikan dengan penuh semangat bersamaan dengan paparan bobroknya realitas produk kapitalisme. Biasanya para duta Islam mencoba menawarkan sistem Islam sebagai konsep terbaik, the best among others, dan mencoba mempersuasi dengan argumen syara’. Sering disampaikan bahwa daulah Islam adalah global state yang wajib untuk seluruh muslim di dunia. Khilafah dengan syariatnya mampu menjamin terpenuhinya sandang, pangan dan papan serta pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi masyarakat! Sistem ekonomi Islam mampu memberantas kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Sistem pidana Islam mampu mengurangi secara signifikan kejahatan dan kerusakan sosial! Sistem pendidikan Islam tidak materialis, namun mampu membangun kepribadian Islam sekaligus membekali ilmu alat untuk hidup! Islam is the best dan mampu menyelesaikan seluruh problem-problem riil kehidupan! Problem datang, kasih sistem Islam, maka semua akan beres! Pesan dan pola komunikasi seperti ini sering tidak mendapat minat dari kalangan terdidik. Mereka bertambah ’gerah’ karena penjelasan-penjelasan seperti ini selain seperti melayang di udara, juga sulit dipahami how to-nya.

Tidak terbayangkan oleh mereka bagaimana gambaran penyatuan negeri-negeri Islam ke dalam satu payung negara khilafah, karena faktanya umat Islam hidup terpisah di lebih dari 50 negara, masing-masing memiliki kepentingan nasional dan problematika spesifik yang complicated. Begitu juga, sulit terbayangkan dalam benak mereka bagaimana ada sebuah negara yang akan bisa menandingi bahkan menundukkan super power dunia Amerika Serikat. Mereka juga sulit memahami bagaimana mungkin negara khilafah kelak dapat menerapkan sistem ekonomi Islam yang mensejahterakan, seperti masa zaman Umar bin Abdul Azis, padahal realitas umat sekarang berada dalam kemiskinan, dipimpin oleh para koruptor dan di bawah dominasi penjajah kapitalis. Jadi, segala tawaran pictures masa depan berdasar syara’, bagi mereka, terkesan tidak lebih seperti khayalan di malam hari, tidak sesuai konteks yang ada sekarang.

Perlu dipahami bahwa persoalan ini sebenarnya muncul karena kurangnya pengetahuan (lack of knowledge) pada kalangan terdidik seputar sistem Islam. Sistem Islam adalah sebuah sistem menyeluruh dan saling terkait (integral and holistic) yang didalamnya ada berbagai sistem: sistem sosial, sistem ekonomi-keuangan, sistem politik-pemerintahan, sistem pidana-perdata, hubungan internasional dan lainnya. Memahami bahwa Islam menjamin pendidikan terbaik dan gratis bagi masyarakat tidak hanya memerlukan pemahaman tentang sistem pendidikan, namun juga musti paham politik kebijakan ekonomi dan sistem keuangan dalam konteks negara Khilafah. Bila sistem Islam mencita-citakan about zero percent criminality, berarti tidak hanya membutuhkan pemahaman tentang adilnya sistem uqubat, namun juga perlu wawasan seputar sistem ekonomi, pendidikan dan pemerintahan. Thesis bahwa khilafah dapat menjadi super power dunia dan mampu memukul Amerika tidak hanya membutuhkan pengetahuan tentang konsep amir jihad, wajib militer dan kebijakan industri perang, namun juga perlu wawasan sistem ekonomi-keuangan, konsep hubungan luar negeri, juga kekuatan spritual (al-quwwatu ar-ruhiyah) pada diri umat. Jadi, dibutuhkan tali temali pengetahuan seputar sistem-sistem yang ada agar sampai pada level pemahaman dan bisa mengapresiasi kecanggihan sistem-sistem Islam. Sesuai kaidah berpikir, pemahaman bisa terjadi secara sempurna bila cukup pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) yang mendukung. Sayangnya prior knowledge yang cukup biasanya belum terwujud pada kalangan terdidik. Mereka belum memiliki wawasan integral dan holistik tentang sistem Islam. Ini bisa dimaklumi dari kenyataan bahwa mereka belum mendapatkan pembinaan intensif seputar sistem Islam, disamping belum mengakses literatur-literatur yang terkait dengannya. Kondisi lack of knowledge inilah yang membuat mereka mudah terjebak pada vonis dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam sebagai ide bombastis, hyperbolic dan logical jumping.

Maka dari itu duta Islam harus selalu sadar tentang kondisi ini. Sadar bahwa lack of knowledge menyebabkan terjadinya kesenjangan semangat dan dapat menjadi kendala dalam komunikasi. Perlu kesabaran dan trick cerdas dalam melakukan dialog. Pastikan dalam setiap memaparkan suatu sistem Islam terlebih dahulu diberikan prior knowledge yang cukup agar dapat memahami gagasan yang disampaikan. Kesalahan yang sering terjadi adalah para duta Islam terlalu semangat dengan penjelasannya dan lupa kalo orang yang diajak dialog belum terbina dengan wawasan Islam yang bersifat sistemik. Kegagalan menyadari kadar pengetahuan mereka tentang sistem Islam akan berbuah penolakan atau penerimaan setengah-setengah. Ingat prinsip ”first to understand, and then to be understood” , pahami dulu (mereka), baru kemudian anda akan dipahami. Prinsip ini harus dipakai ketika berdialog dalam menyampaikan Islam.

Menyadari bahwa kurangnya prior knowledge tidak berarti memvonis mereka sebagai orang-orang yang kurang wawasan. Jangan salah paham! Mereka adalah orang-orang terdidik dengan kadar intelektualitas yang sangat baik dan berwawasan luas. Bahkan, wawasan mereka bisa jadi jauh lebih bermutu ketimbang wawasan para duta Islam, terutama seputar bidang keahliannya. Persoalannya hanya pada rumus alam bahwa isi pesan dapat dipahami secara sempurna setelah cukup informasi atau pengetahuan agar pesan itu bisa ditangkap seperti yang diinginkan. Itu saja. Bila mereka sebelumnya tidak dibina dengan sistem-sistem Islam, maka jangan berharap mereka bisa memahami dengan baik dan mudah tentang Islam sebagai satu-satunya problem solver. Islam mampu menyelesaikan secara tuntas terhadap persoalan riiil di tengah masyarakat butuh pembelajaran tentang sistem-sistem Islam. Seorang profesor nuklir masih perlu belajar dasar ilmu fisiologi tentang sistem kardiovaskular untuk bisa memahami mekanisme kerja jantung dan sistem pembuluh darah di dalam tubuh.



Kendala komunikasi kedua: ketidaktahuan tentang konsep (fiqrah) dan metode (thariqah)

Kendala kedua adalah ketika kalangan terdidik belum menyadari sepenuhnya bahwa upaya menegakkan sistem khilafah dilakukan dengan suatu metode yang menjamin terwujudnya cita-cita. Gerakan Islam untuk memperjuangkan ini adalah gerakan dakwah ideologis yang mengemban konsep(fikrah) sekaligus memiliki kelengkapan metode (thariqah) untuk mewujudkan konsep tersebut. Ketidaktahuan akan adanya metode ini akan berbuah sikap pesimis, antipati dan kadang frustasi. Kejelasan metode menjadi sangat penting apalagi untuk sebuah cita-cita atau perubahan besar. Sebuah cita-cita yang tinggi (future condition) biasanya jauh berbeda dengan realitas saat ini (current condition). Jauhnya cita-cita dan realitas menggoda siapa saja untuk bersikap pesimis. Apalagi kalo ia terlalu terpaku pada realitas sekarang (current conditions centric). Coba bayangkan, apa yang akan dikatakan dan dirasakan oleh seorang pengemis bila anda mengatakan kepadanya bahwa suatu saat ia menjadi seorang konglomerat? Beginilah kira-kira yang dirasakan oleh kalangan terdidik tentang janji khilafah tegak dan janji tentang kecanggihan sistem Islam dalam menyelesaikan problem komplikasi umat. Persoalannya hanya terletak pada tuntutan akan kejelasan metode mewujudkan konsep (cita-cita) tersebut.

Yang bisa meyakinkan mereka bahwa cita-cita besar bisa diraih adalah adanya kejelasan metode, sekaligus strategi, yang menjamin realisasinya. Sebelum itu ada maka cita-cita hanya akan terkesan sebagai angan dan impian yang manis untuk dibayangkan. Misalkan tentang keniscayaan kembalinya khilafah. Bagi sebagian mereka cita-cita tegaknya khilafah adalah out of mind, karena adanya Khilafah berarti perubahan fenomenal dan besar di level global. Sebuah perubahan eskalatif pada kondisi sosial, politik, hukum, budaya, hubungan antar negara dan sendi-sendi kehidupan lainnya. Ini adalah cita-cita tinggi yang berbeda dengan realitas sekarang. Walhasil, bila duta Islam lupa atau tidak bisa meyakinkan mereka tentang keberadaan metode yang canggih (sophisicated method), maka jangan berharap mereka akan menerima, mengapresiasi dan mendukung perjuangan ini.

Kalaulah kemudian ada kalangan terdidik yang setuju dan menerima bahwa khilafah suatu saat akan kembali karena alasan syara’, mereka akan tetap kesulitan membayangkan bagaimana cara kemunculannya. Bila mereka gagal memahami bagaimana metode merwujudkannya, jangan berharap mereka bisa menerima secara legowo tentang proyek masa depan ini. Para duta Islam harus bisa meyakinkan mereka bahwa dakwah dilengkapi dengan metode yang jelas, syar’i dan rasional untuk mewujudkan cita-citanya. Bila tidak maka mereka akan berkesimpulan bahwa khilafah membutuhkan waktu yang sangat lama (unlimited time). Implikasinya, mereka akan berpandangan lebih baik melakukan hal-hal yang ‘realistis’ dan sekarang ’dibutuhkan’ oleh umat. Dengan tidak mengurangi apresiasi terhadap ikhtiar perjuangan yang mereka pilih dan InsyaAllah mendapat pahala dari Allah swt, kita dengan sangat terpaksa mengatakan bahwa mereka akan mudah terjebak pada jenis perjuangan yang tidak relevan, bersifat reaktif, temporer dan berubah-ubah orientasinya sesuai dengan berubahnya realitas. Dalam bahasa manajemenya, kaburnya visi dan atau strategi menyebabkan execution yang tidak relevan.

Perlu digarisbawahi di sini, seorang duta Islam tidak cukup hanya mengatakan bahwa khilafah merupakan kewajiban umat Islam. Tidak cukup hanya dengan menjelaskan kehebatan dan ketangkasan sistem Islam dalam menyelesaikan problem manusia.. Juga tidak cukup hanya dengan ’mendongeng’ tentang kenangan manis daulah Islam dalam mengatur dunia. Singkatnya, tidak cukup sekedar memaparkan konsep dengan argumen syarí, historis dan tuntutan kekinian. Namun perlu dicatat di sini, mereka harus diyakinkan dengan keberadaan sebuah metode untuk meraih konsep-konsep tersebut. Untuk apa impian indah, kalo tidak tau cara mendapatkannya ?

Para duta Islam harus bisa menjelaskan tentang metode dakwah ini dengan sejelas-jelasnya, dimulai dengan argumentasi syara’, penjelasan yang logis dan rasional, serta visualisasi yang jelas dan jernih. Ini dilakukan agar mereka bisa melihat cara dan jalan keluar (wayout) dari realitas sekarang menuju cita-cita yang diharapkan. Sekali lagi, pastikan mereka memahami bahwa gerakan Islam tidak sekedar berbicara tentang konsep yang melangit, namun juga dilengkapi dengan metode canggih yang menjamin tercapainya perwujudan konsep tersebut. Bila Khilafah adalah sebuah konsep hebat -yang juga merupakan kewajiban syar’i, terbukti secara historis, dijamin berhasil oleh nash, dan sekarang masih menjadi cita-cita- maka dakwah adalah proses rekayasa sosial ideologis yang canggih untuk merealisasikannya. Dua hal ini harus tersampaikan kepada mereka dengan jelas tanpa samar: konsep yang jelas dan metode yang relevan dengan kondisi riil kehidupan .



Kendala komunikasi ketiga: campur aduk pembahasan konsep (fiqrah) dan metode (thariqah)

Kegagalan komunikasi juga bisa disebabkan ketika pembahasan antara konsep dan metodenya tidak dipisahkan. Pencampuradukan ini disamping membuat mereka sulit menangkap bahwa gerakan dakwah memiliki metode yang jelas, juga membuat mereka berat untuk memahami dan keluar dari realitas kekinian. Manusia pada dasarnya lebih mudah menangkap realitas yang dihadapi daripada memahami masa depan yang terlampau jauh dari realitas. Untuk itulah, ketika berdiskusi tentang khilafah dan sistemnya, berarti bicara tentang masa depan yang akan diwujudkan. Jangan lupa khilafah memiliki alasan syar’i, landasan historis dan tuntutan kekinian. Tentu ini saja sudah membutuhkan perhatian, konsentrasi dan diskusi yang panjang lebar sampai pada pemahaman yang memuaskan.

Setelah mereka memahami wujudnya Khilafah adalah keniscayaan, dilihat dari tinjauan syar’i, landasan historis dan tuntutan kekinian, baru kemudian mereka sangat perlu mengetahui metode mewujudkannya. Untuk mewujudkannya berarti bicara tentang konsep perubahan sosial ideologis berdasarkan Islam, yaitu dakwah yang sesuai dengan syara’. Konsep social engineering ideologis inipun memerlukan pembahasan yang cukup berat, dilihat dari aspek syara’, historis dan juga rasional.

Pencampuradukan pembahasan akan membuat frustasi. Tujuan agar kalangan terdidik tergerak untuk mendukung dan masuk dalam barisan dakwah tidak akan berhasil dengan pembahasan yang campuraduk dan tidak jelas. Harus dipisah antara pembahasan konsep dan metode. Dipisah ini bukan dalam pengertian waktu, hari, jam dsb. Namun, pemisahan ini dalam rangka memberi kerangka berpikir ideologis bahwa konsep dan metode adalah dua hal berbeda yang perlu dipahami. Jadi para pengemban dakwah harus jeli dan bisa memastikan bahwa diskusi yang dilakukan jelas pembahasannya, apakah tentang konsep ataukah tentang metode. Apakah tentang khilafah dengan sistem-sistemnya ataukah tentang dakwah sebagai metode untuk mewujudkannya. Diskusi harus berada pada track yang sama.

Sebagai catatan terakhir untuk kendala kedua dan ketiga ini. para duta Islam dituntut untuk memahami dan berempati dengan kondisi kalangan terdidik yang masih sulit menerima seruan karena faktor ketidakjelasan konsep dan metode. Toh, kenyataan para duta Islam bisa begitu optimis dan yakin dengan perjuangan pengembalian khilafah dan syariat, disamping karena pembinaan iman, juga karena telah mengkaji beberapa kitab yang terkait dengan metode dakwah seperti Takattul li Hizb, Dukhul Mujtama’dan lain-lain. Jadi wajar pemahaman dan pengetahuan yang banyak tentang dakwah, sebagai proses rekayasa sosial ideologis, akan memudahkan kita memahami keniscayaan berdirinya khilafah. Hal ini tidak terjadi pada sebagian besar para kalangan terdidik. Sehingga dibutuhkan kesabaran, pantang menyerah dan selalu mencari strategi efektif untuk menjelaskan metode perjuangan menegakkan khilafah. Penting untuk meluangkan waktu mendoakan mereka agar mudah diberi kepahaman oleh Allah swt.



Kendala komunikasi keempat: terpengaruh pola pikir barat

Kendala keempat yang biasa terjadi adalah bila kaum terdidik sudah terpengaruh atau memakai pola pikir barat dalam menyelesaikan problem kehidupan. Harus diakui, barat saat ini telah berhasil mendominasi tidak hanya secara politik, ekonomi, militer, hukum, budaya namun juga bidang pemikiran. Serangan pemikiran (al-ghazwu’l fikri) atau perang pemikiran (al-harbul fikri) ini dilakukan barat kepada Islam sejak sebelum runtuhnya Khilafah Turki Utsmani sampai sekarang. Tujuannya adalah agar ideologi kapitalis dipeluk oleh kaum muslimin. Bila ini terjadi maka umat akan menerima tsaqofah Barat sebagai kebenaran dan dijadikan solusi atas segala problem kehidupan. Barat akan dijadikan rujukan dan meminjam istilah Amin Rais, umat akan mengalami westomania, penyakit kejiwaan yang menganggap Barat segala-galanya.

Harus dicatat pula Barat sangat serius dengan agenda brain washing ini di negeri-negeri Islam, terutama untuk kalangan terdidik. Barat tidak ragu mengeluarkan dana milyaran dolar melalui berbagai corporate dan fondation yang dimilikinya dan beroperasi di negeri-negeri Islam. Mereka membiayai proyek-proyek penelitian; beasiswa untuk sekolah di luar negeri pada bidang-bidang sosial-politik-ekonomi-budaya-humaniora-agama dan pemikiran; membiayai perubahan kurikulum di perguruan tinggi, pesantren bahkan sekolah dasar; membiayai berbagai produk rancangan undang-undang; mendanai banyak sekali LSM-LSM komprador; masuk dalam bisnis media; dan banyak lagi lainnya. Walhasil, dengan agresifnya proses westoxication (peracunan barat) membuat proses adopsi terhadap pemikiran dan pola pikir barat sudah menjadi gejala umum, terutama pada kalangan terdidik. Perlu digarisbawahi di sini, dengan kerangka pikir (frame of reference) yang sudah terbangun dari ideologi kapitalis barat ini menjadikan mereka sulit untuk ’think outside the box’.

Konsep-konsep Islam akan mudah tertolak karena bertentangan dengan sistem kepercayaan (mafahim, miqyas, dan qanaah) yang telah mereka miliki berdasar ideologi kapitalis. Ini adalah perkara alamiah yang harus disadari. Para duta Islam harus memiliki kesadaran penuh dan tidak reaktif dalam menjelaskan dan merespon sikap mereka. Duta Islam juga harus bisa memahami physiological mechanism pada setiap tahap komunikasi yang terjadi ketika berdialog. Tahapan komunikasi yang umum seperti berikut ini harus dicermati:

1. pesan tentang khilafah atau sistem Islam diterima;

2. pesan disaring dan diberi makna berdasarkan nilai, kepercayaan, dan latar belakang yang mereka miliki, ini adalah tahapan untuk membangun mafhum.

3. pesan akan dievaluasi berdasarkan konsep yang mereka yakini (miqyas);

4. emosi akan ditambahkan karena mereka telah memiliki qanaah tertentu;

5. reaksi akan diberikan atas pesan yang disampaikan.

Harus diingat bahwa mafhum, miqyas dan qanaah yang mereka miliki dibangun dari cara berpikir Barat. Wajar bila kemudian setiap gagasan Islam akan mudah tertolak. Namun, yang penting anda bisa menangkap secara utuh tahapan berpikir dan kondisi psikologisnya tatkala berkomunikasi. Ini penting agar anda bisa mencari momen yang tepat untuk masuk dengan argumen yang cerdas, kuat dan memuaskan, sehingga Insya Allah anda bisa memahamkan, mempengaruhi serta merubah cara berpikirnya.

Usahakan dialog dilakukan secara intensif, dan desain sebuah pola komunikasi egaliter yang masing-masing bisa menyampaikan gagasannya. Pola dialog ini membuat kedua belah pihak bisa menjelaskan konsep dan metode masing-masing secara jelas. Sehingga, dengan persiapan yang sangat matang, para duta Islam dapat menunjukkan secara jelas tentang cita-cita (konsep) dan cara mewujudkannya (metode) untuk realitas sekarang ini (konteks). Dengan pola seperti ini, kalangan terdidik akan mendapat kesempatan untuk melihat, mendengar dan merasakan the beauty of Islam dan cara mewujudkannya. Disamping itu, nanti akan terlihat bahwa penyelesaian selain dengan Islam tidak akan bisa merubah secara signifikan problem yang dihadapi. Pola dialog seperti ini dapat diilustrasikan seperti dua orang yang sedang menunjukkan pohon yang ditanam secara berdampingan. Yang satu dibangun dari akar aqidah Islam, batang-daun adalah syariat, buah adalah manfaat dunia-akhirat yang diraih. Sementara pohon satunya akarnya adalah aqidah campuran atau bahkan sekulerisme, batang-daun adalah sistem sekuler, dan buahnya adalah mafsadat dan sumber problem kehidupan.

Pola saling melihat ini penting agar mereka bisa mendengar dan melihat secara utuh idealisme yang ingin ditransfer dan dipahami. Perlu disadari dialog seperti ini bisa jadi tidak selesai dalam waktu singkat. Namun, harus disadari bahwa kesempatan untuk melihat idealnya sistem Islam adalah fase penting bagi mereka agar dapat menangkap hidayah secara utuh, tanpa terhalang oleh perkara teknis dan emosional yang tidak perlu. Untuk itu pola dialog seperti ini dibutuhkan kematangan konsep, kepercayaan diri, wawasan luas, kecerdasan komunikasi dan persiapan yang serius.



Catatan Terakhir

Dua aspek penting untuk mulusnya persuasi dalam dialog adalah kesan yang harus ditangkap oleh kalangan intelektual. Kesan di sini bukan dalam pengertian dibuat-buat, namun harus secara jujur terekspresi dalam dialog. Kesan pertama adalah dakwah ini merupakan buah atau konsekwensi iman dan kesan kedua adalah para duta Islam merupakan orang yang cerdas, berwawasan, intelek dan terbuka.

Dakwah sebagai buah dari iman dapat dilakukan pertama dengan adanya kesadaran para duta Islam bahwa tugas ini semata-mata karena Allah swt, bukan karena semangat golongan, bukan pula untuk menjajal pengetahuan atau kepuasan intelektual. Kedua, tidak ragu untuk menyitir nash Qurán atau hadits yang relevan dan dengan kadar yang proporsional dalam berargumentasi.

Adapun kesan kedua dapat dimunculkan pertama dengan selalu mengikuti perkembangan baik di level lokal, nasional dan juga internasional.Para duta Islam memahami dengan baik fakta-fakta yang berkembang. Kemudian duta Islam harus banyak belajar seputar ide atau konsep-konsep yang ada, dari Barat atau Timur, terutama sekali konsep yang dipahami oleh para kalangan terdidik. Ini penting agar para duta Islam bisa melakukan dua hal. Yang pertama mampu mendekatkan wawasan yang dimiliki pakar dengan ide-ide Islam. Mendekatkan di sini agar terlihat secara rasional bahwa Islam itu hakekatnya ’hidup’ dan mampu menyelesaikan kondisi riil. Yang kedua para duta Islam akan terampil melakukan intifa’ terhadap tsaqofah Barat. Intifa’ di sini adalah proses pemanfaatan apa yang boleh dimanfaatkan sebagai media pengargumentasian dalam rangka mempertahankan Islam.

Mengingat dakwah pada kalangan terdidik merupakan aktifitas strategis untuk mendapat dukungan terhadap dakwah, maka persiapan serius adalah kuncinya. Hasil memang bukan kekuasaan kita, namun yang bisa dilakukan adalah melaksanakan perintah Allah swt dengan serius dan amanah. Insya Allah dengan ikhtiar sungguh-sungguh dan dilandasi keikhlasan untuk menunaikan amanah dari Allah swt, keberhasilan meraih dukungan para intelektual akan beroleh hasil. Semoga Allah swt memudahkan urusan ini. Wallahu álam.


This share facebook

Comments :

0 komentar to “Seni Komunikasi Ideologis pada Kalangan Terdidik”

Posting Komentar